Sumber: money.cnn | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
LONDON. Perekonomian Inggris tengah menghadapi masalah. Kondisi ini bisa memburuk seiring dengan kondisi politik di negara tersebut.
Dalam beberapa pekan terakhir, sejumlah data ekonomi Inggris menunjukkan posisi yang mencemaskan. Konsumen, terpukul oleh kenaikan harga, menutup rapat-rapat dompet mereka. Guncangan politik bahkan menyebabkan para pebisnis menahan rencana investasi mereka.
Peringatan teranyar datang pada Senin (12/6), saat Perdana Menteri Inggris Theresa May masih berupaya untuk membentuk pemerintahan setelah hasil pemilu yang dihelat Kamis pekan lalu menunjukkan penurunan anggota parlemennya.
Visa mengatakan, belanja konsumen mengalami penurunan pertama kali dalam empat tahun terakhir pada Mei 2017 setelah anggaran belanja rumah tangga terkikis oleh kenaikan harga dan upah yang stagnan. Perusahaan pembayaran ini juga mengatakan peritel batu bata dan alat perkakas mengalami pukulan terberat, di mana angka penjualan mencatatkan penurunan terbesar dalam lima tahun.
Hasil survei Institute of Directors menunjukkan lebih dari 90% pimpinan perusahaan mengatakan hasil pemilu merupakan cerminan dari kecemasan akan perekonomian. Hanya 20% eksekutif yang bilang mereka optimistis mengenai performa ekonomi dalam 12 bulan mendatang. Sedangkan 57% lainnya menjawab pesimistis.
"Sulit mengatakan apa dampak dramatis dari ketidakpastian politik saat ini terhadap pemimpin perusahaan. Dan konsekuensinya -jika tidak diatasi secepatnya- dapat berdampak buruk bagi perekonomian," jelas Stephen Martin, director general of Institute of Directors.
Sebelum pemilu berlangsung, perekonomian Inggris sudah terpukul.
Dinamika ini dimulai sejak tahun lalu, saat warga Inggris memilih agar Inggris menarik diri dari Uni Eropa. Investor pun mencemaskan kemampuan Inggris untuk bertahan tanpa ada akses istimewa ke market Eropa. Kondisi itu langsung membuat poundsterling tersungkur ke posisi terendahnya dalam beberapa dekade.
Saat ini, nilai tukar poundsterling masih diperdagangkan pada posisi 15% di bawah level terendahnya pada hari hasil referendum Brexit diumumkan. Pelemahan poundsterling mengerek harga-harga produkĀ perusahaan Inggris yang banyak melakukan bisnisnya di luar negeri, namun juga mendongkrak harga makanan, minuman, dan barang impor lainnya di dalam negeri.
Pertumbuhan paling lambat di Eropa
Ada juga masalah terkait tenaga kerja. Tingkat pengangguran Inggris terbilang rendah, namun perusahaan tidak merespon dengan membayarkan gaji tinggi kepada pekerjanya. Seiring kenaikan harga, warga harus meminjam lebih banyak. Data bank sentral Inggris menunjukkan, tingkat utang warga Inggris melalui kartu kredit mereka naik hampir 10% pada tahun fiskal yang berakhir April 2017.
Tren ini berkontribusi terhadap pembalikan kondisi ekonomi Inggris. Pada 2016, Inggris membukukan pertumbuhan terkuat dibanding negara anggota lain dari kelompok G7 negara-negara maju. Namun, performa Inggris pada tiga bulan pertama tahun ini adalah yang terlemah di G7, dan dari seluruh 28 negara anggota Uni Eropa.
Apa yang terjadi sekarang?
Brexit diprediksi akan menjadi bisul yang menyakiti ekonomi Inggris, kendati May harus melakukan rencananya yakni berpisah secara baik-baik dengan Uni Eropa untuk menarik dukungan parlemen.
May sebelumnya pernah berjanji akan membawa Inggris untuk keluar seluruhnya dari blok perdagangan Uni Eropa dan mengurangi jumlah orang yang datang dari Uni Eropa. Dia bahkan mengancam untuk keluar dari Eropa tanpa membayar biaya perceraian yang lumayan besar atau memblokade perjanjian perdagangan baru.
Sejak hasil pemilu yang mengejutkan dirilis, sejumlah perusahaan besar telah mengambil kesempatan untuk memperbaharui kembali rencana bisnis mereka untuk kasus hard Brexit.
The Sunday Times melaporkan, Airbus sudah mengancam untuk memindahkan produksi baru mereka keluar dari Inggris jika mereka menghadapi hambatan atau pelarangan untuk merekrut pekerja Uni Eropa untuk pekerjaan di Inggris.
Airbus mempekerjakan ribuan orang di Inggris dan membayar sekitar US$ 5 miliar per tahun kepada suplier Inggris.
"Untuk produksi baru, sangat mudah mendapatkan pabrik baru di suatu tempat. Kami mendapatkan sejumlah penawaran terkait hal tersebut," jelas Chief Operating Officer Fabrice Bregier kepada The Sunday Times.
Poundsterling anjlok lagi
Poundsterling melemah 0,7% dan diperdagangkan di bawah US$ 1,27. Demikian pula saat berhadapan dengan euro.
Moody's mengingatkan pada Senin (12/6) kemarin bahwa hasil pemilu akan membuat negosiasi Brexit semakin rumit dan kemungkinan ditunda.
Sementara itu, sejumlah perubahan yang drastis juga terjadi. Data yang dirilis The Health Foundation menunjukkan, jumlah perawat dari Uni Eropa yang mendaftar untuk bekerja di Inggris anjlok 69% sejak referendum Brexit.
Padahal, industri kesehatan dan industri lainnya sangat bergantung dari imigran.
Pengamat dari CBI menilai, Inggris harus mengadopsi pemikiran baru terkait Brexit. Misalnya saja perusahaan masih bisa mendapatkan akses terhadap tenaga kerja terampil dan buruh yang mereka butuhkan.