Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - TOKYO. Konsumsi rumah tangga Jepang turun dengan laju tercepat pada bulan Mei karena himbauan pemerintah untuk tetap berada di rumah guna menahan penyebaran Covid-19. Penurunan konsumsi tersebut mendorong perlambatan ekonomi Negeri Sakura itu semakin dalam.
Merosotnya konsumsi rumah tangga itu akan menambah tekanan bagi pembuat kebijakan di Jepang untuk meningkatkan langkah-langkah untuk memulihkan kepercayaan di kalangan pelaku usaha dan khususnya konsumen.
Baca Juga: AS pertimbangkan melarang aplikasi media sosial China, termasuk Tik Tok
Berdasarkan yang dirilis pemerintah seperti dikutip Reuters, Selasa (7/7), konsumsi rumah tangga Jepang pada bulan Mei turun sebesar 16,2% dibandingkan tahun sebelumnya. Ini merupakan penurunan terbesar sejak tahun 2001.
Penurunan itu lebih besar dibandingkan perkiraan pasar rata-rata analis sebelumnya yakni 12,2%, memperpanjang laju penurunan yang terjadi pada bulan sebelumnya yang tercatat turun sebesar 11,1%.
Pemulihan belanja diperkirakan akan berjalan lambat dan rapuh karena karena rumah tangga masih enggan untuk mendorong belanja bahkan setelah keadaan darurat nasional dicabut pada Mei. "Laju pemulihan mengkhawatirkan. Walaupun pemerintah sudah luncurkan paket kebijakan, akan sulit keluar dari perlambatan ini dengan cepat," kata kepala ekonom di Itochu Economic Research Institute Atsushi Takeda
Namun, Bank of Japan (BOJ) diperkirakan akan mempertahankan pandangannya dalam laporan triwulanan minggu depan bahwa ekonomi akan berangsur pulih akhir tahun ini.
Baca Juga: TikTok angkat kaki dari Hong Kong, ada apa?
Pemotongan konsumsi terbesar terjadi pada pengeluaran untuk hotel, transportasi dan kegiatan makan di luar rumah seiring kebijakan stay at home. Namun, kebijakan itu mendorong belanja masyarakat terhadap daging babi, alkohol dan barang saniter seperti masker wajah dan handuk kertas.
Liburan Golden Week selama 10 hari yang belum pernah terjadi sebelumnya pada tahun lalu membuat penurunan pengeluaran lebih terasa. Saat itu, tercatat pengeluaran di sektor pariwisata yang lebih besar dari biasanya. Liburan dilakukan untuk merayakan penobatan Putra Mahkota Naruhito.
Secara keseluruhan, prospek pengeluaran rumah tangga untuk bulan-bulan mendatang masih redup karena tingkat pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat. Khususnya di perusahaan-perusahaan sektor jasa yang membebani sentimen.
Baca Juga: Soal senjata nuklir, Korea Utara: Korea Selatan harus berhenti ikut campur
Sementara data upah riil yang disesuaikan dengan inflasi Mei yang dirilis terpisah tercatat mengalami penurunan terbesar sejak Juni 2015. Data ini merupakan tanda bahwa pasar tenaga kerja mengalami tekanan.
Pemerintah berharap kenaikan permintaan domestik akan cukup kuat untuk membawa pemulihan ekonomi selama negara tersebut mampu mencegah gelombang kedua Covid-19. Pemerintah telah menyusun dua paket belanja senilai 2,2 triliun yen untuk menghadapi tekanan pandemi, termasuk dengan menggelontorkan uang tunai 100 ribu yen atau sebesar US$ 932 per warga.
Namun, belanja rumah tangga bisa mengalami pukulan lebih besar ke depannya jika prospek bisnis yang memburuk memaksa perusahaan memangkas bonus pekerja, terutama saat musim dingin, atau memberhentikan lebih banyak pekerja.
Baca Juga: Corona makin menggila di wilayah Balkan, sejumlah negara tutup perbatasan