Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Krisis politik di Prancis semakin dalam setelah Perdana Menteri Sebastien Lecornu dan pemerintahannya mengundurkan diri pada Senin (6/10), hanya 14 jam setelah pengumuman susunan kabinet baru.
Peristiwa ini menjadikan pemerintahan Lecornu sebagai yang tersingkat dalam sejarah modern Prancis, sekaligus memicu gejolak di pasar keuangan Eropa.
Kabar pengunduran diri mendadak ini mengejutkan publik dan dunia politik. Bursa saham Paris dan nilai euro langsung anjlok tajam setelah pengumuman tersebut.
Tekanan Politik dari Semua Arah
Lecornu, yang menjabat hanya 27 hari sebagai perdana menteri, menyerahkan surat pengunduran dirinya kepada Presiden Emmanuel Macron pada Senin pagi.
“Tuan Sebastien Lecornu telah menyerahkan pengunduran diri pemerintahnya kepada Presiden Republik, yang telah menerimanya,” tulis pernyataan resmi Istana Elysee.
Baca Juga: Perdana Menteri Baru Prancis Sebastien Lecornu Mundur, Pasar Saham dan Euro Anjlok
Keputusan itu muncul setelah kabinet baru yang diumumkan Lecornu menuai kritik luas—baik dari kelompok oposisi maupun partai-partai pendukung Macron sendiri. Sebagian menilai formasi kabinet terlalu condong ke kanan, sementara yang lain menilai sebaliknya.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai kemampuan Macron membentuk pemerintahan yang stabil, mengingat tidak ada satu pun blok politik yang memiliki mayoritas di parlemen yang sangat terfragmentasi.
Seruan untuk Pemilu Kilat
Kegagalan kabinet Lecornu langsung memicu seruan keras untuk pemilu legislatif kilat (snap election).
Pemimpin partai sayap kanan National Rally, Jordan Bardella, menegaskan, “Tidak akan ada stabilitas tanpa kembali ke pemilu dan pembubaran Majelis Nasional.”
Sementara itu, Mathilde Panot dari partai kiri radikal France Unbowed, mengatakan, “Lecornu mundur. Tiga perdana menteri gagal dalam waktu kurang dari setahun. Hitung mundur telah dimulai. Macron harus pergi.”
Lecornu adalah perdana menteri kelima Macron dalam dua tahun terakhir, menandakan tingkat ketidakstabilan yang belum pernah terjadi sebelumnya di bawah kepemimpinan presiden yang dulu dikenal membawa pembaruan politik.
Baca Juga: Puluhan Ribu Demonstran Turun ke Jalan di Prancis, Protes Rencana Pemotongan Anggaran
Dampak Langsung ke Pasar: Saham dan Euro Anjlok
Gejolak politik ini segera berdampak pada pasar finansial. Indeks utama bursa Paris, CAC 40, anjlok 2%, menjadi yang terburuk di Eropa hari itu. Saham perbankan termasuk BNP Paribas, Société Générale, dan Crédit Agricole merosot antara 5,7% hingga 7,3%.
Sementara itu, nilai tukar euro turun 0,7% ke posisi $1,1665, mencerminkan kekhawatiran investor terhadap stabilitas ekonomi dan politik Prancis—ekonomi terbesar kedua di zona euro.
Sistem Politik Prancis Kembali Diuji
Sejak berdirinya Republik Kelima pada 1958, Prancis jarang mengalami krisis politik sedalam ini. Konstitusi Republik Kelima dirancang untuk menjamin stabilitas pemerintahan dengan memperkuat kekuasaan presiden yang didukung mayoritas parlemen. Namun, realitas politik saat ini justru berbanding terbalik.
Sejak kemenangan Macron pada 2017, lanskap politik Prancis berubah drastis: partai-partai tradisional melemah, sementara kelompok sayap kanan dan kiri radikal semakin berpengaruh. Ketiadaan budaya koalisi yang kuat membuat kompromi politik hampir mustahil, memperparah kebuntuan pemerintahan.