Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - SYDNEY. Regulator privasi Australia mengajukan gugatan terhadap Facebook, serta menuduh raksasa media sosial tersebut menyebarkan 300.000 data pribadi pengguna ke konsultan politik Cambridge Analytica tanpa sepengetahuan regulator.
Mengutip artikel yang dimuat Reuters, Senin (9/3) dalam gugatannya, Australian Information Commissioner (Komisaris Informasi Australia) menuduh Facebook atas pelanggaran undang-undang privasi dengan mengungkapkan 311.127 informasi pengguna untuk kebutuhan survei politik.
Baca Juga: Virus corona menyebar cepat, sebanyak 70.000 tahanan di Iran dibebaskan
"Desain platform Facebook berarti bahwa pengguna tidak dapat melakukan kontrol yang wajar tentang penggunaan data pribadi," ujar Komisaris Informasi, Angelene Falk dalam keterangan resminya.
Gugatan tersebut juga menuntut ganti rugi yang belum ditentukan. Bila terbukti melanggar hukum privasi, maka denda yang bisa diajukan maksimal mencapai A$ 1,7 juta atau US$ 1,1 juta per individu.
Artinya, jumlah denda yang harus dibayar Facebook bila terbukti bersalah bisa mencapai sekitar US$ 348,86 miliar atau mencapai Rp 5.021 triliun (Rp 14.387 per dollar AS) bila pengadilan memutuskan untuk memberikan denda maksimum untuk setiap kasus.
Seorang juru bicara Facebook mengatakan, pihaknya telah terlibat aktif dengan Komisoner Informasi selama dua tahun terakhir sebagai bagian dari penyelidikan. "Kami telah membuat perubahan besar pada platform kami, dengan berkonsultasi dengan regulator internasional, untuk membatasi informasi yang tersedia ke pengembang aplikasi," ujar Juru Bicara Facebook.
Baca Juga: Pabrik mobil di Wuhan sudah beroperasi, produsen global malah khawatir
Pihaknya juga mengatakan telah menerapkan protokol tata kelola baru dan bekerjasama dengan entitas internasional untuk melindungi dan mengelola data pribadi pengguna.
Ini bukan kasus pertama yang dijalani Facebook, pertengahan tahun 2019 lalu pun Facebook pernah didenda US$ 5 miliar oleh Komisi Perdagangan AS setelah penyelidikan ke salah satu fitur Facebook.
Intinya, kala itu Facebook dituduh membagikan informasi 87 orang pengguna secara global melalui alat survei milik perusahaan asal Inggris yang tak lagi berfungsi yakni Cambridge Analytica. Klien konsultasinya kala itu termasuk tim kampanye pemilihan umum Presiden AS Donald Trump di tahun 2016 silam.
Baca Juga: Perusahaan China kembangkan teknologi yang dapat mengenali wajah di balik topeng
Pasca Trump terpilih menjadi Presiden AS, Cambridge Analytica kemudian mendaftarkan bisnisnya di Australia namun mengaku tak pernah bekerja untuk partai politik di negeri kanguru tersebut.
Dalam gugatannya di Australia, Komisaris Informasi mengatakan Facebook tidak mengetahui karakteristik data yang dibagikan dengan Cambridge Analytica.
Meski begitu, perusahaan milik Mark Zuckerberg tersebut dinilai gagal melakukan langkah preventif untuk melindungi informasi penggunanya.
Baca Juga: PM Inggris Boris Johnson adakan pertemuan darurat bahas virus corona