Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Maskapai penerbangan komersial di seluruh dunia ikut terdampak dari gencatan senjata di Iran. Senin (23/6), maskapai mempertimbangkan berapa lama mereka akan menangguhkan penerbangan ke Timur Tengah.
Sudah hampir 10 hari, wilayah udara Iran, Irak hingga Laut Mediterania yang biasanya padat menjadi kosong dari lalu lintas penerbangan komersial. Sejak Israel menyerang Iran di 13 Juni, maskapai memilih mengalihkan, membatalkan, atau menunda penerbangan karena penutupan wilayah udara dan soal keselamatan.
Kondisi ini semakin terasa setelah maskapai internasional membatalkan penerbangan ke hub penting seperti Dubai, bandara internasional tersibuk di dunia dan Doha, Qatar. Hal ini menandakan meningkatnya kekhawatiran di industri penerbangan pada situasi kawasan tersebut.
Baca Juga: Dapat Ancaman Bom, Pesawat Jemaah Haji SV 5688 Tujuan Surabaya Mendarat di Medan
Namun, beberapa maskapai mulai kembali beroperasi pada Senin. Singapore Airlines, maskapai terbesar di Asia, menyebut situasi ini sebagai dinamis dan memutuskan melanjutkan penerbangan ke Dubai setelah membatalkan penerbangan di Minggu. British Airways juga tercatat kembali menjadwalkan penerbangan ke Dubai dan Doha pada Senin setelah membatalkan rute tersebut di Minggu.
Sebaliknya, Air France KLM tetap membatalkan penerbangan ke Dubai dan Riyadh pada Minggu dan Senin. Beberapa maskapai Amerika seperti American Airlines, United Airlines, dan Air Canada sebelumnya menangguhkan penerbangan ke Qatar dan Dubai hingga kini belum beroperasi.
Sementara, maskapai lokal Yordania, Lebanon, dan Irak mulai perlahan melanjutkan layanan setelah melakukan pembatalan besar-besaran. Israel juga meningkatkan jumlah penerbangan untuk membantu warganya pulang atau keluar negeri. Otoritas bandara Israel menyebut akan ada 24 penerbangan bantuan setiap hari mulai Senin, namun tiap penerbangan dibatasi hanya 50 penumpang. Maskapai nasional Israel, El Al, mengatakan satu hari terakhir mereka menerima 25.000 permintaan untuk meninggalkan Israel.
Wilayah Rusia dan Ukraina sudah lama ditutup akibat perang, sehingga rute Timur Tengah menjadi jalur penting penerbangan Eropa dan Asia. Selama 10 hari terakhir, banyak maskapai memilih rute alternatif, seperti lewat Laut Kaspia di utara atau melalui Mesir dan Arab Saudi di selatan. Namun rute ini menyebabkan biaya tambahan dari bahan bakar maupun waktu kerja kru.
Baca Juga: Ancaman Bom Penerbangan Saudia Airlines, Pesawat Berhasil Mendarat dengan Selamat
Sementara, harga bahan bakar pesawat naik karena lonjakan harga minyak. Bagi maskapai, semakin banyak zona konflik akan menjadi beban tambahan karena risiko serangan udara yang bisa saja mengenai pesawat komersial secara tidak sengaja atau disengaja.
Masalah lain adalah gangguan GPS dan pemalsuan lokasi (spoofing), terutama di kawasan rawan politik. Ini bisa menyebabkan sistem navigasi pesawat salah membaca posisi dan membuat penerbangan keluar jalur. Flightradar24 menyatakan terjadi peningkatan kasus jamming dan spoofing di wilayah Teluk Persia dalam beberapa hari terakhir. Perusahaan Swiss bernama SkAI yang memantau gangguan GPS melaporkan lebih dari 150 pesawat mengalami spoofing dalam 24 jam terakhir.