Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - Menteri Keuangan AS Scott Bessent menyoroti sistem pengendalian suku bunga Federal Reserve, menyebutnya semakin rumit dan mulai menunjukkan tanda-tanda “kerapuhan”.
Dalam wawancara dengan CNBC, Selasa (25/11/2025), Bessent mengatakan The Fed harus menyederhanakan kerangka kebijakannya.
“Kita sudah sampai pada titik di mana kebijakan moneter jadi sangat rumit,” ujar Bessent.
“The Fed telah membawa kita ke rezim cadangan ample-reserves, dan sekarang terlihat mulai sedikit rapuh.”
Meski tidak merinci apa yang dimaksud “rapuh”, Bessent mengacu pada dinamika pasar uang yang menantang, terkait cara The Fed mengelola neraca senilai US$6,56 triliun serta tingkat likuiditas sistem keuangan.
Baca Juga: HP PHK 6.000 Karyawan hingga 2028, Fokus Gaspol di AI
Likuiditas Seret, The Fed Hentikan Penyusutan Neraca
Pada pertemuan kebijakan terakhir, The Fed mengumumkan akan menghentikan proses pengurangan neraca mulai awal Desember.
Langkah itu diambil setelah kondisi likuiditas mengetat jelang pertemuan Oktober, menyulitkan bank sentral mengendalikan suku bunga federal funds instrumen utama dalam mencapai target inflasi dan lapangan kerja.
Ketegangan tersebut mendorong bank-bank meminjam dana besar melalui Standing Repo Facility (SRF), fasilitas yang berfungsi membatasi lonjakan suku bunga jangka pendek.
Selain itu, arus kas besar masuk ke fasilitas reverse repo The Fed, yang menjadi lantai bagi suku bunga pasar uang.
Baca Juga: Ronaldo Bebas dari Larangan Piala Dunia, FIFA Beri Masa Percobaan 1 Tahun
Bessent: Neraca Jumbo The Fed Distorsi Pasar
Bessent sudah lama mengkritik neraca raksasa The Fed, yang dipenuhi obligasi hasil pembelian untuk menstabilkan pasar dan memberi stimulus ekonomi.
Menurut dia, ukuran neraca yang terlalu besar mendistorsi harga obligasi dan kurva imbal hasil.
Kritik itu juga senada dengan pernyataan Presiden Fed Kansas City Jeffrey Schmid pada 14 November, yang menilai keberadaan neraca jumbo “mengaburkan batas antara kebijakan moneter dan fiskal”.
Sementara itu, sistem pengelolaan likuiditas saat ini membuat The Fed harus membayar bunga besar kepada institusi keuangan, mengubah kondisi dari lembaga yang biasanya mencetak laba menjadi mencatat kerugian US$240 miliar.
Meski demikian, kerugian itu tidak mempengaruhi kemampuan operasional The Fed.
Namun banyak pejabat The Fed lebih memilih sistem yang ada karena sebagian besar berjalan otomatis dan tidak memerlukan intervensi konstan seperti sebelum krisis finansial 2008.
Upaya kembali ke sistem lama akan sangat menyakitkan: The Fed harus menjual obligasi secara agresif, memicu lonjakan biaya pinjaman riil.
Baca Juga: Minyak Merosot Lebih 1% Selasa (25/11), Diplomasi AS–Ukraina Picu Harapan Damai
Tantangan Makin Berat Jelang Akhir Tahun
Pasar uang diperkirakan menghadapi volatilitas tinggi menuju akhir tahun—periode yang memang rawan kekeringan likuiditas.
Bill Nelson, ekonom Bank Policy Institute, memperingatkan penyelesaian transaksi obligasi pemerintah AS dalam jumlah besar pada Jumat dan Senin akan menarik likuiditas keluar dari pasar.
Akhir Desember juga berpotensi kacau karena penutupan kuartal dan tahun, ketika institusi keuangan menarik dana atau berebut kas.
SRF, meski mulai digunakan rutin, masih jarang dimanfaatkan optimal karena sebagian pelaku khawatir penggunaan fasilitas itu menandakan kesulitan keuangan.
Baca Juga: Drama Asia Timur Memuncak: Taiwan Tolak Kembali ke China, Beijing Panas
Pejabat The Fed, termasuk Roberto Perli, menekankan bahwa penggunaan SRF seharusnya dianggap normal bila secara ekonomi masuk akal, dan kini bank sentral sedang mengevaluasi cara agar fasilitas tersebut lebih menarik, termasuk kemungkinan mengintegrasikannya ke mekanisme kliring terpusat.
Ke depan, The Fed diperkirakan perlu kembali menaikkan ukuran neraca untuk memastikan likuiditas pasar tetap memadai, langkah yang kemungkinan bertentangan dengan seruan Bessent agar neraca The Fed dipangkas.













