kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45892,58   -2,96   -0.33%
  • EMAS1.324.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mulai 1 Oktober, Turki disebut-sebut memasuki periode baru dan gelap


Kamis, 30 Juli 2020 / 08:32 WIB
Mulai 1 Oktober, Turki disebut-sebut memasuki periode baru dan gelap
ILUSTRASI. Pemerintah Turki akan memiliki kuasa penuh untuk sensor aktivitas masyarakat di media sosial REUTERS/Denis Balibouse TPX IMAGES OF THE DAY


Sumber: Kompas.com | Editor: Adi Wikanto

KONTAN.CO.ID - Istanbul. Mulai 1 Oktober 2020, Turki disebut bakal mengalami periode baru dan gelap. Pasalnya, warga Turki tidak boleh lagi sembarangan posting status di media sosial. Perusahaan media sosial juga tidak boleh sembarangan beroperasi di Turki.

Hal ini menyusul parlemen Turki yang menyetujui UU baru tentang media sosial pada Rabu (29/7/2020). UU baru memberikan kekuasaan lebih kepada pihak otoritas terhadap penyensoran konten.

Baca juga: Dua kantor konsulat China di AS ini diduga dipakai untuk spionase, bukan di Houston

UU mengharuskan perusahaan media sosial, seperti Facebook dan Twitter untuk mendirikan kantor perwakilan di Turki yang berfungsi untuk menangani berbagai keluhan terhadap konten di platform tersebut.

Jika perusahaan media sosial menolak untuk menunjuk perwakilan resmi, UU tersebut mengamanatkan denda yang tinggi, larangan iklan, dan pengurangan kapasitas layanan data (bandwidth).

Dengan putusan pengadilan, bandwidth akan dibagi dua, dan kemudian dipotong lebih lanjut. Pengurangan bandwidth berarti jaringan media sosial akan terlalu lambat untuk digunakan.

Perwakilan platform media sosial akan ditugaskan menanggapi permintaan individu untuk menghapus konten yang melanggar privasi dan hak pribadi dalam waktu 48 jam atau untuk memberikan alasan penolakan.

Perusahaan akan bertanggung jawab atas kerusakan, jika konten tidak dihapus atau diblokir dalam waktu 24 jam. Yang paling mengkhawatirkan, di pasal 9 UU tersebut mengharuskan penyedia media sosial untuk menyimpan data pengguna di Turki.

Melansir Associated Press pada Rabu (29/7/2020), pemerintah mengatakan UU tersebut diperlukan untuk memerangi kejahatan siber dan melindungi pengguna media sosial. Anggota parlemen partai berkuasa, Rumeysa Kadak mengatakan pada Rabu ini, bahwa UU tersebut digunakan untuk memiliki wewenang menghapus konten unggahan yang mengandung perundungan siber dan penghinaan terhadap perempuan. 

Baca juga: Tak perlu repot, 11 bandara ini sudah menyediakan layanan rapid test corona

Sementara, anggota parlemen opisisi mengatakan UU tersebut akan lebih membatasi kebebasan berekspresi di mana media sudah di bawah kendali pemerintah yang ketat dan puluhan wartawan berada di penjara. Para oposisi menyebut UU itu sebagai "hukum sensor." 

Periode gelap

Ratusan orang telah diselidiki dan beberapa ditangkap atas unggahan media sosial tentang pandemi Covid-19, penentangan terhadap serangan militer Turki di luar negeri, atau menghina Presiden Recep Tayyip Erdogan dan pejabat lainnya. Erdogan menuntut adanya hukum dan bersumpah untuk "mengendalikan platform media sosial", serta memberantas amoralitas.

Aktivis dan akademisi hak siber, Yaman Akdeniz mengkritisi langkah pemerintah Turki dengan menulis, "Periode baru dan gelap mulai di Turki" dengan undang-undang baru. Dia berpendapat hukum akan digunakan untuk menghapus konten yang kritis terhadap pemerintah daripada untuk melindungi pengguna.

Baca juga: Harga mobil bekas Honda Freed Juli 2020 semakin terjangkau, ini daftarnya

Kelompok-kelompok hak asasi dan Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia menentang UU pada Selasa (28/7/2020), menjelang pemungutan suara, dengan Amnesty International menyebutnya "kejam." “Jika disahkan, amandemen ini akan secara signifikan meningkatkan kekuatan pemerintah untuk menyensor konten online dan menuntut pengguna media sosial. Ini adalah pelanggaran yang jelas terhadap hak atas kebebasan berekspresi online dan bertentangan dengan hukum dan standar HAM internasional," kata perwakilan dari Amnesty International, Andrew Gardner

Turki menjadi negara pertama di dunia yang meminta penghapusan konten di Twitter, dengan lebih dari 6.000 pada paruh pertama 2019. Lebih dari 408.000 situs web diblokir di Turki, menurut The Freedom of Expression Association.

Ensiklopedia online Wikipedia diblokir selama hampir tiga tahun sebelum pengadilan tinggi Turki memutuskan bahwa larangan itu melanggar hak kebebasan berekspresi.

Ada pun diketahui 54 juta orang dari 83 juta penduduk negara Turki adalah pengguna media sosial aktif. Sebuah survei pada Juli oleh perusahaan polling Metropoll, menunjukkan 49,6 persen responden Turki tidak mendukung UU yang dapat membatasi, menutup atau mendenda perusahaan media sosial atas konten.

Sekitar 40,8 persen mengatakan mereka akan mendukungnya. Sementara ini, perusahaan platform media sosial belum berkomentar. UU disahkan setelah 16 jam musyawarah yang tegang di parlemen, di mana partai yang berkuasa Erdogan dan sekutu nasionalisnya memegang mayoritas kursi. UU akan diterbitkan dalam Lembaran Resmi setelah Erdogan menandatangani dan akan mulai berlaku pada 1 Oktober.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "UU Media Sosial Turki Disetujui, Penggunaan Facebook dan Twitter akan Diawasi Pemerintah", 

Penulis : Shintaloka Pradita Sicca
Editor : Shintaloka Pradita Sicca




TERBARU

[X]
×