Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketika ketidakpastian global dan kebijakan tarif Amerika Serikat terus membayangi perekonomian, Federal Reserve (The Fed) kini menghadapi dilema besar: Apakah inflasi atau perlambatan pertumbuhan merupakan ancaman utama bagi ekonomi AS saat ini?
Keputusan suku bunga ke depan sangat bergantung pada bagaimana para pembuat kebijakan menafsirkan data yang saling bertentangan di tengah lingkungan perdagangan yang masih bergejolak.
Survei Eksekutif Soroti Tekanan Ganda: Kenaikan Harga dan Pelemahan Permintaan
Dua survei utama, satu dari The Fed dan satu lagi dari Dun & Bradstreet menggambarkan realitas pelik yang dihadapi para pelaku bisnis. Para CFO di AS mengaku tetap berencana menaikkan harga, bahkan di perusahaan yang tidak terdampak langsung oleh tarif.
Sementara itu, mereka juga memperkirakan melemahnya pendapatan dan permintaan dalam waktu dekat.
Baca Juga: Pasar Tenaga Kerja AS Tetap Tangguh, Pemangkasan Suku Bunga The Fed Makin Mundur
Menurut survei CFO yang dilakukan oleh Federal Reserve Atlanta dan Richmond bersama Universitas Duke, banyak pelaku bisnis melihat adanya tekanan harga yang kini meluas—bukan hanya akibat tarif, tetapi juga dari ekspektasi pasar secara keseluruhan.
"Kekhawatiran kami adalah tekanan harga mulai meluas, bukan hanya terbatas pada sektor yang langsung terdampak tarif," kata Brent Meyer, ekonom dari Fed Atlanta.
Presiden Fed Atlanta, Raphael Bostic, menyebut bahwa penyesuaian bisnis terhadap tarif bisa memakan waktu lebih dari satu tahun, dan selama periode itu inflasi bisa terus meningkat.
Ketegangan dengan Presiden Trump: Seruan Potong Suku Bunga
Presiden Donald Trump kembali menyerukan pemangkasan suku bunga besar-besaran dan meminta Ketua The Fed Jerome Powell untuk mengundurkan diri. Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, bahkan menyebut sikap The Fed saat ini sebagai “sedikit melenceng”.
Namun Powell bersikeras bahwa keputusan suku bunga akan tetap bergantung pada data dan proyeksi ekonomi, bukan tekanan politik. Dalam konferensi pers pasca-rapat Juni lalu, ia menyatakan bahwa meskipun sentimen bisnis mulai membaik, tarif yang masih belum final menciptakan ketidakpastian struktural bagi dunia usaha.
Survei Global: Optimisme Menurun, Investasi Tertunda
Survei Dun & Bradstreet terhadap 10.000 bisnis global menunjukkan perubahan sikap yang signifikan sejak pengumuman tarif besar-besaran Trump pada April. Banyak perusahaan kini mengalihkan rantai pasokan dan mengurangi ketergantungan pada pasar atau produksi AS.
“Ada penundaan belanja modal, penundaan pembayaran vendor, dan upaya perusahaan untuk mengurangi utang,” jelas Arun Singh, Kepala Ekonom Global Dun & Bradstreet.
Baca Juga: Dolar AS Stabil, Investor Tunggu Data Ketenagakerjaan dan Arah Kebijakan The Fed
Optimisme bisnis terus menurun, dan meskipun bank sentral di berbagai negara telah memangkas suku bunga, kondisi pinjaman tetap tidak membaik secara nyata bagi banyak pelaku usaha.
Risiko Stagflasi dan Tekanan Tarif
Menurut studi JPMorgan Chase Institute, perusahaan menengah di AS menghadapi beban tarif lebih dari $82 miliar. Perusahaan-perusahaan ini cukup besar untuk terdampak tarif, tapi tidak cukup kuat untuk menekan margin atau negosiasi harga seperti yang bisa dilakukan oleh peritel raksasa.
Beberapa CFO bahkan mengaku telah menggandakan rencana kenaikan harga untuk tahun mendatang, yang seringkali melebihi proyeksi pertumbuhan pendapatan. Hal ini mengindikasikan potensi melambatnya kegiatan bisnis sekaligus meningkatnya inflasi kombinasi yang disebut oleh para ekonom sebagai risiko stagflasi.
“Tarif ini akan menjadi guncangan stagflasi bagi ekonomi AS,” kata Nathan Sheets, Kepala Ekonom Global Citi, yang memprediksi akan terjadi inflasi tinggi dan pertumbuhan lemah.