Sumber: DW.com | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
Ransel dari Nike misalnya. "Harganya setara dengan 68 euro (sekitar Rp 1 juta)," kata Mehdi. "Penjualannya bagus sekali sekarang, banyak remaja menyukainya."
Uang 68 euro bukan jumlah yang kecil di Iran yang rata-rata penghasilan penduduknya sebesar 400 euro (Rp 6,2 juta) per bulan. Berdasarkan nilai tukar resmi bersubsidi saat ini, satu euro nilainya sekitar 48.000 rial.
Namun kurs senilai ini hanya berlaku jika misalnya seseorang ingin membeli obat-obatan. Sementara di pasar terbuka, nilai mata uang rial lebih rendah dari itu. Orang harus membayar 145.000 rial untuk satu euro. Jadi, buat sebagian besar orang, produk impor sangatlah mahal.
Baca Juga: Inggris menuding Iran berupaya merampas kapal tankernya di selat Hormuz
Budaya konsumsi di tengah krisis ekonomi
Negara ini telah mengalami krisis ekonomi selama lebih dari setahun. Pada Mei 2018, Presiden AS Donald Trump secara sepihak membatalkan perjanjian nuklir dengan Iran dan meluncurkan kampanye untuk memberi "tekanan maksimum" dan sanksi kepada negara tersebut.
Anak-anak dari kalangan berpunya ini mengenakan pakaian bermerek buatan AS dan beraksi memamerkannya di sosial media. Jutaan orang Iran lainnya pun ikut-ikutan membeli barang bermerek palsu supaya bisa ikut tren.
Baca Juga: Berpotensi kena denda US$ 123 juta akibat pencurian data tamu, Marriott melawan
Pasar tua Grand Bazaar di kota Teheran dianggap sebagai jantung ekonomi Iran. Di satu sudut di pasar ini orang bisa metemukan tempat yang menjual logo barang-barang bermerek. Logo-logo ini dijual per kilo.
Merek-merek palsu yang dijual adalah keluaran barat dan terkenal mahal seperti Louis Vuitton, Gucci, Chanel, Lee, Nike and Co. Permintaan akan barang glamor palsu sangat bagus di sini.