Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - LONDON/TOKYO. Aktivitas manufaktur di Eropa menunjukkan lebih banyak tanda-tanda stabilisasi pada Juni 2025.
Namun sejumlah negara Asia masih mencatat kontraksi akibat kekhawatiran terhadap tarif baru dari Amerika Serikat (AS), di tengah prospek pemulihan ekonomi global yang masih suram.
Indeks PMI (Purchasing Managers' Index) manufaktur zona euro versi HCOB yang disusun S&P Global naik tipis ke level 49,5 pada Juni dari 49,4 di Mei, level tertinggi sejak Agustus 2022. Namun masih di bawah ambang batas 50 yang memisahkan ekspansi dan kontraksi aktivitas.
Baca Juga: PMI Manufaktur Terus Kontraksi, Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II Diramal Makin Melemah
“Ada tanda-tanda stabilisasi di sektor manufaktur. Perusahaan mulai sedikit meningkatkan produksi selama empat bulan berturut-turut, dan permintaan mulai menunjukkan perbaikan,” ujar Cyrus de la Rubia, Kepala Ekonom di Hamburg Commercial Bank, Selasa (1/7).
Namun, performa negara-negara zona euro tetap bervariasi. Irlandia mencatat PMI tertinggi dalam 37 bulan, sementara Yunani, Spanyol, dan Belanda juga berada di atas level 50.
Di sisi lain, Jerman mencetak PMI tertinggi dalam hampir tiga tahun tetapi masih menunjukkan kontraksi. Prancis, Italia, dan Austria mencatat penurunan lebih tajam yang membebani kinerja kawasan secara keseluruhan.
Di luar Uni Eropa, sektor manufaktur Inggris juga menunjukkan tanda-tanda pemulihan dari keterpurukan panjangnya.
Baca Juga: Aktivitas Manufaktur Asia Terhambat oleh Risiko Tarif AS
Tekanan Tarif AS
Namun, secara keseluruhan, laporan PMI menunjukkan lemahnya permintaan yang masih membayangi, terutama akibat kebijakan Presiden AS Donald Trump yang kembali mengguncang sistem perdagangan global dengan penerapan tarif impor besar-besaran.
Seiring dengan pertemuan tahunan para gubernur bank sentral global yang digelar oleh Bank Sentral Eropa (ECB) di Sintra, Portugal, salah satu kekhawatiran utama yang mengemuka adalah apakah proteksionisme dan kebijakan ekonomi tak terduga dari Trump bisa mengakhiri tatanan finansial global yang telah bertahan selama 80 tahun terakhir.
Di tengah situasi tersebut, aktivitas manufaktur Jepang justru tumbuh untuk pertama kalinya dalam 13 bulan, sementara kontraksi manufaktur Korea Selatan berlanjut namun melambat, menurut survei swasta pada Selasa.
PMI Caixin untuk China juga menunjukkan ekspansi karena peningkatan pesanan baru, berbanding terbalik dengan survei resmi yang justru menunjukkan penurunan selama tiga bulan berturut-turut.
Baca Juga: Aktivitas Manufaktur Jepang Tumbuh untuk Pertama Kalinya dalam 13 Bulan pada Juni
Namun para analis memperingatkan bahwa macetnya perundingan dagang dengan AS, lemahnya permintaan global, dan pertumbuhan Tiongkok yang loyo masih akan membebani aktivitas manufaktur di Asia.
“Kita harus menyadari bahwa lingkungan eksternal masih sangat berat dan kompleks, dengan ketidakpastian yang terus meningkat. Masalah permintaan domestik yang kurang efektif juga belum teratasi secara fundamental,” ujar Wang Zhe, Ekonom di Caixin Insight Group.
PMI Caixin/S&P Global naik ke 50,4, melampaui ekspektasi dalam jajak pendapat Reuters.
PMI Jepang (au Jibun Bank) naik ke 50,1 berkat peningkatan produksi, meski permintaan tetap lemah karena turunnya pesanan baru yang dipengaruhi kekhawatiran terhadap tarif AS.
Korea Selatan mencatat kontraksi aktivitas manufaktur selama lima bulan berturut-turut, meski laju penurunan melambat karena sentimen positif pasca pemilihan presiden mendadak pada 3 Juni yang mengakhiri ketidakpastian politik selama enam bulan.
PMI ini dirilis setelah data terpisah pada Juni menunjukkan ekspor Korea Selatan mulai pulih, meski pengiriman ke AS dan Tiongkok masih lemah.
Baca Juga: PMI Manufaktur RI Kembali Anjlok, Gelombang PHK Dinilai Bisa Bertambah
Tarif tinggi yang diterapkan dan kini dihentikan sementara oleh Trump telah mengacaukan arus perdagangan global dan membuat negara-negara pengekspor ke AS berada dalam dilema besar.
Negosiator dari mitra dagang utama AS kini berpacu dengan waktu untuk mencapai kesepakatan sebelum tenggat 9 Juli agar tarif tidak melonjak ke level yang lebih tinggi.
China masih terus bernegosiasi dengan Washington untuk kesepakatan dagang yang lebih luas. Sementara Jepang dan Korea Selatan belum berhasil memperoleh kelonggaran tarif atas produk ekspor utama mereka seperti mobil.
Sementara itu, India menjadi pengecualian positif di Asia bulan lalu, dengan aktivitas manufaktur meningkat ke level tertinggi dalam 14 bulan, didorong lonjakan ekspor dan perekrutan tenaga kerja yang mencatat rekor baru.