Sumber: Arab News | Editor: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Peningkatan jumlah imigran dan pengungsi Libya yang ditolah di Eropa menyebabkan mereka kini dikurung di pusat-pusat penahanan yang penuh sesak dan tidak layak.
Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) melaporkan bahwa para imigran menghadapi pelecehan, kekerasan, kerja paksa dan kekurangan makanan, air dan sinar matahari.
Beberapa dari mereka bahkan dinyatakan hilang, sehingga menimbulkan ketakutan bahwa mereka menjadi korban perdagangan manusia.
"Kondisi ini dibarengi dengan suhu ekstrem selama gelombang panas di Libya. Lebih dari 6.170 migran dan pengungsi yang saat ini berada di pusat-pusat penahanan hidup dalam kondisi yang sangat tidak manusiawi," ungkap OCHA, seperti dikutip Arab News.
Baca Juga: Seluruh tentara asing diminta pergi dari Libya sejalan dengan gencatan senjata
Menurut catatan OCHA, antara awal tahun ini hingga 30 Juni sudah ada lebih dari 14.700 migran dan pengungsi telah dicegat atau diselamatkan di laut oleh Penjaga Pantai Libya dan dikembalikan ke Libya.
Jumlah itu sudah melebihi total migran dalam kondisi yang sama pada tahun 2020.
Pada bulan Juni saja, lebih dari 4.500 orang diangkut, sementara ratusan lainnya tewas di laut.
Dipengaruhi krisis politik panjang
Jumlah migran dan pengungsi ilegal dari Libya terus meningkat dari tahun ke tahun didorong oleh lambatnya pemulihan konflik dan krisis politik yang telah terjadi selama bertahun-tahun.
Pandemi yang melanda selama satu tahun terakhir turut membuat kondisi ekonomi dalam negeri semakin buruk, memaksa banyak penduduknya berusaha mencari suaka di negara lain.
Di tengah konflik yang semakin panas, Libya juga masih menampung banyak migran dari sejumlah negara di kawasan Afrika.
Baca Juga: Aktivitas Turki di Tripoli bisa picu perang Libya baru
Menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), mayoritas migran di Libya berasal dari Mesir, Sudan, Niger, Chad, dan Nigeria. Secara keseluruhan, 53 kebangsaan terwakili di antara 600.000 migran yang saat ini berada di Libya.
Tahun lalu, jumlah terbesar migran yang tiba di Italia melalui laut berasal dari Bangladesh, Tunisia, dan Pantai Gading.
Hilangnya kekuasaan Muammar Gaddafi pada tahun 2011, disusul dengan perang saudara di berbagai wilayah, kondisi keamanan Libya menjadi tak terkendali.
Kondisi ini dimanfaatkan banyak migran untuk menggunakan Libya sebagai titik keberangkatan dalam upaya mereka untuk mencapai Eropa melalui laut.
Namun dengan keamanan perbatasan Eropa yang semakin ketat sejak krisis migrasi 2016, banyak pengungsi yang akhirnya terdampar.
OCHA mengakui bahwa saat ini diperlukan adanya mekanisme penyelamatan dan pendaratan yang dapat diprediksi di sepanjang rute tengah-Mediterania yang sepenuhnya harus sesuai dengan prinsip dan standar HAM internasional.