Penulis: Prihastomo Wahyu Widodo
Fakta yang dijelaskan kedua prajurit tersebut rasanya sudah cukup memberikan bukti adanya pelanggaran HAM serius yang dialami lebih dari satu juta pengungsi Rohingya.
"Ini adalah momen penting bagi Rohingya dan rakyat Myanmar dalam perjuangan untuk meraih keadilan. Orang-orang ini bisa jadi pelaku pertama dari Myanmar yang diadili di ICC, dan saksi orang dalam pertama yang ditahan di pengadilan," ungkap Matthew Smith, kepala eksekutif di Fortify Rights, pengawas hak asasi manusia, seperti dikutip dari Japan Times.
Pembantaian masyarakat muslim Rohingya
Saat ini New York Times belum dapat mengonfirmasi bahwa kedua tentara tersebut melakukan kejahatan yang mereka ceritakan. Tapi detail yang mereka katakan sesuai dengan deskripsi yang diberikan oleh puluhan saksi dan pengamat, termasuk pengungsi Rohingya, warga Rakhine, tentara Tatmadaw, dan politisi lokal.
Beberapa penduduk desa secara independen mengkonfirmasi keberadaan kuburan massal yang disebutkan. Ini juga akan menjadi bukti yang akan disita dalam penyelidikan di Pengadilan Kriminal Internasional dan proses hukum lainnya. Pemerintah Myanmar berulang kali membantah bahwa situs semacam itu ada di seluruh wilayah.
Baca Juga: Tim PBB Temukan Pengusaha Turut Danai Penggaran HAM oleh Militer Myanmar
Pembantaian Rohingya yang mencapai puncaknya pada 2017, menjadi salah satu penyebaran pengungsi tercepat di dunia. Dalam beberapa minggu, tiga perempat dari satu juta orang tanpa kewarganegaraan diusir dari rumah mereka di negara bagian Rakhine barat Myanmar.
Pasukan keamanan menyerang desa mereka dengan senapan, parang, dan penyembur api. Laki-laki tua dipenggal, dan gadis-gadis muda diperkosa, kerudung mereka dirobek untuk digunakan sebagai penutup mata, kata saksi mata dan korban selamat.
Tahun lalu, Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengatakan, ada risiko serius bahwa tindakan genosida dapat terjadi atau terulang dan Myanmar gagal dalam kewajibannya untuk mencegah genosida.
Pada bulan Desember 2019, Aung San Suu Kyi, pemimpin sipil negara itu, membela Myanmar dari tuduhan genosida di Pengadilan Internasional di Den Haag.