kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45916,44   -19,08   -2.04%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perang mata uang, patutkah investor cemas?


Jumat, 09 Agustus 2019 / 06:33 WIB
Perang mata uang, patutkah investor cemas?


Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Presiden AS Donald Trump menunjuk hidung The Federal Reserve sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas "kokohnya dollar AS" dengan menahan suku bunga acuan di level tinggi. 

Mengutip BBC, dalam cuitannya di Twitter, sang presiden menegaskan dirinya tidak 'senang; dengan hasil tersebut. 

Menurutnya, penguatan dollar akan menyebabkan manufaktur besar AS sulit bersaing di kancah internasional. 

Baca Juga: Yuan bergerak flat terhadap rupiah di dekat rekor penguatan 2.019,70

Pernyataan Trump ini diungkapkan bersamaan dengan kecemasan para ekonom bahwa perang mata uang dapat dipicu oleh langkah China yang membiarkan yuan melemah ke level terendahnya dalam 11 tahun terakhir. 

Pasar saham di seluruh dunia langsung guncang dan harga emas meroket ke level tertingginya dalam enam tahun terakhir pada Senin (5/8) lalu. 

Hal ini dinilai sebagai langkah balasan China atas eskalasi perang dagang dengan AS yang kian memanas. 

Dengan adanya tudingan AS bahwa China merupakan manipulator mata uang, pelaku pasar mencoba memetakan langkah apa yang harus dilakukan ke depan. 

Baca Juga: Menyikapi perang mata uang, analis ini sarankan investor untuk defensif

Sebenarnya, apakah perang mata uang? Perang mata uang merujuk pada kebijakan  sebuah negara untuk mengatur harga mata uang mereka agar sesuai dengan kebijakan ekonominya. 

Sejumlah negara memperlemah nilai mata uang mereka dengan tujuan agar barang-barang ekspor bisa lebih kompetitif, sehingga dapat mendongkrak perekonomian domestik mereka.

Pada kasus China, pemerintah sebelumnya sudah mencegah pelemahan mata uang dengan membeli yuan dengan jumlah besar. Namun, kebijakan itu sepertinya berubah haluan pada apekan ini, saat China seperti mengabaikan pendekatan tersebut. 

Ini bukanlah perseteruan pertama terkait mata uang yang terjadi. AS, misalnya, secara formal pernah menyebut China sebagai manipulator mata uang pada 1994 silam. 

Kemudian, pada 2010, menteri keuangan Brazil Guido Mantega, mengingatkan akan terjadinya perang mata uang internasional saat Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan mencoba memangkas nilai mata uang mereka masing-masing. 

Baca Juga: Setelah melemah empat hari, rupiah mulai konsolidasi

Apakah saat ini sudah terjadi perang mata uang? Sejumlah ekonom berpendapat, perang mata uang yang sebenarnya belum terjadi. Sebab, baik China atau AS masih secara formal masuk ke pasar untuk membeli atau menjual mata uangnya sendiri. Ini merupakan metode tradisional dalam menggerakkan mata uang. 

Namun, Chris Turner, global head of strategy Dutch Bank ING mengatakan, pada 2015-2016, pemerintah China menggelontorkan dana US$ 1 triliun untuk menghentikan pelemahan yuan terhadap dollar AS agar tak melampaui level 7. 

Jika sebuah negara membeli mata uangnya sendiri dengan jumlah besar, hal itu akan berdamoat pada menguatnya mata uang di pasar uang internasional. 

Pada pekan ini, hal itu tidak dilakukan. 

"Ini cukup signifikan karena terjadi di tengah perang dagang antara AS dan China," kata Turner. 




TERBARU

[X]
×