kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perbankan China diminta lebih sensitif pada risiko


Jumat, 14 April 2017 / 13:10 WIB
Perbankan China diminta lebih sensitif pada risiko


Reporter: Yuwono Triatmodjo | Editor: Rizki Caturini

BEIJING. Regulator perbankan China atau The China Banking Regulatory Commission (CBRC) mengeluarkan perintah bagi seluruh perbankan di Negeri Tembok Besar agar secara efektif mengidentifikasi dan mengendalikan risiko. Perintah tersebut dipublikasikan pada laman resmi CBRC, Rabu (12/4).

Seperti diberitakan Reuters, perbankan China juga diminta memberikan keterbukaan mengenai produk-produk apa saja yang ditawarkan kepada publik dan atau yang bersifat private placements. Hal ini menindaklanjuti arahan pemimpin China agar otoritas meningkatkan kewaspadaan pada sistem finansial.

Adapun dalam beberapa bulan terakhir, regulator China telah merilis hingga dua lusin perintah bagi pelaku industri perbankan untuk melakukan kontrol atas risiko pinjaman beserta agunan. Sebab, saat ini marak bermunculan produk finansial dengan skema yang cukup rumit.

Seperti misalnya pada awal bulan April ini, CBRC telah memerintahkan perbankan melakukan self inspections atawa pemeriksaan pribadi atas produk wealth management dan produk-produk lainnya yang bisa dipakai untuk menghindari aturan jasa keuangan.

Seperti diwartakan harian lokal, China Daily, Selasa (11/4), Perdana Menteri China Li Keqiang menyatakan bahwa sektor keuangan negara tersebut rentan atas berbagai risiko. Seperti risiko aset buruk, gagal bayar obligasi, shadow banking, dan internet financing.

Li Keqiang mencontohkan kasus obligasi yang menerpa Sealand Secuerities. Kasus ini bermula kala dua orang pegawai Sealand menerbitkan obligasi bodong pada tahun 2016 lalu.

Penjualan obligasi tersebut melibatkan 22 lembaga keuangan lain di China. Dari hasil penjualan obligasi itu, terkumpul dana publik senilai US$ 2,37 miliar atau setara Rp 31,64 triliun. Investor akhirnya hanya bisa gigit jari, lantaran obligasi ini pada akhirnya mengalami gagal bayar.




TERBARU

[X]
×