kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.487.000   72.000   2,98%
  • USD/IDR 16.600   0,00   0,00%
  • IDX 8.187   98,16   1,21%
  • KOMPAS100 1.135   16,09   1,44%
  • LQ45 808   11,84   1,49%
  • ISSI 288   3,11   1,09%
  • IDX30 421   6,14   1,48%
  • IDXHIDIV20 477   7,40   1,58%
  • IDX80 126   1,56   1,26%
  • IDXV30 134   0,68   0,51%
  • IDXQ30 133   2,04   1,56%

Tanda Bahaya dari China: Ekspor Ngebut, Domestik Melemah, Risiko Krisis Mengintai


Selasa, 21 Oktober 2025 / 07:46 WIB
Tanda Bahaya dari China: Ekspor Ngebut, Domestik Melemah, Risiko Krisis Mengintai
ILUSTRASI. Pertumbuhan ekonomi China melambat ke level terendah dalam setahun pada kuartal III 2025, ketika lemahnya permintaan domestik membuat negeri itu kembali bergantung pada sektor ekspor. REUTERS/Dado Ruvic


Sumber: Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - Pertumbuhan ekonomi China melambat ke level terendah dalam setahun pada kuartal III 2025, ketika lemahnya permintaan domestik membuat negeri itu kembali bergantung pada sektor ekspor. 

Kondisi ini memicu kekhawatiran atas ketidakseimbangan struktural yang semakin dalam.

Reuters melaporkan, data yang dirilis Biro Statistik Nasional China menunjukkan ekonomi tumbuh 4,8% secara tahunan, sesuai ekspektasi pasar dan cukup untuk menjaga target pertumbuhan sekitar 5% tahun ini. Namun, ketergantungan pada permintaan luar negeri di tengah memanasnya perang dagang dengan Amerika Serikat menimbulkan pertanyaan apakah laju ini dapat dipertahankan.

Beijing kemungkinan akan menggunakan capaian tersebut sebagai simbol ketahanan ekonomi dalam pembicaraan antara Wakil Perdana Menteri He Lifeng dan Menteri Keuangan AS Scott Bessent di Malaysia pekan ini, menjelang potensi pertemuan antara Presiden Donald Trump dan Xi Jinping di Korea Selatan.

Namun di dalam negeri, kekuatan ekspor itu menutupi lemahnya konsumsi. Permintaan lokal yang lesu memaksa produsen Tiongkok bersaing ketat di pasar luar negeri melalui perang harga, yang pada akhirnya menekan profitabilitas.

Jeremy Fang, staf penjualan di produsen aluminium asal China, mengungkap perusahaannya kehilangan sekitar 20% pendapatan. Lonjakan penjualan ke Amerika Latin, Afrika, Asia Tenggara, Turki, dan Timur Tengah tidak cukup menutupi penurunan pesanan 80%–90% dari Amerika Serikat.

Baca Juga: Lawan China, AS dan Australia Bakal Investasi US$ 2 Miliar untuk Mineral Kritis

“Kita harus benar-benar kompetitif dalam hal harga,” ujarnya. “Kalau harga kamu US$ 100 dan pembeli menawar, lebih baik turunkan US$ 10–US$ 20 daripada kehilangan pesanan. Tidak bisa ragu.”

Persaingan harga yang brutal ini memicu efek domino di dalam negeri. Banyak perusahaan harus memangkas gaji bahkan jumlah tenaga kerja demi bertahan.

Produksi industri memang naik 6,5% (yoy) pada September — tertinggi dalam tiga bulan terakhir dan melampaui ekspektasi. Namun, penjualan ritel justru melambat ke 3,0%, terendah dalam 10 bulan.

Harga rumah baru juga turun dengan laju tercepat dalam 11 bulan, sementara investasi di sektor properti anjlok 13,9% dalam sembilan bulan pertama tahun ini.

“Pertumbuhan China kini semakin bergantung pada ekspor untuk menutupi lemahnya permintaan domestik,” kata Julian Evans-Pritchard, analis Capital Economics. “Pola seperti ini tidak berkelanjutan. Tanpa langkah konkret untuk memperkuat konsumsi rumah tangga, laju ekonomi akan melambat lebih jauh.”

Baca Juga: Turki Bangun Tambang Raksasa Logam Tanah Jarang, Siap Saingi China




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×