kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45863,29   1,62   0.19%
  • EMAS1.361.000 -0,51%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perusahaan AS eksodus dari China ke negara Asia Tenggara, namun bukan ke Indonesia


Rabu, 10 Juni 2020 / 11:20 WIB
Perusahaan AS eksodus dari China ke negara Asia Tenggara, namun bukan ke Indonesia
ILUSTRASI. Seorang buruh memakai masker saat bekerja di pabrik Ngoc Nu yang membuat selimut, bantal dan kasur untuk pasar lokal setelah pemerintah melonggarkan penguncian secara nasional di Hanoi, Vietnam, Senin (1/6/2020). REUTERS/Kham


Reporter: Barly Haliem, Sandy Baskoro | Editor: Sandy Baskoro

KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Wabah corona (Covid-19) turut mengubah peta rantai suplai global. Data terakhir yang dikumpulkan perusahaan inspeksi rantai pasokan yang berbasis di Hong Kong memperlihatkan, perusahaan Amerika Serikat mulai memindahkan basis dan sumber produksi mereka dari China.

Eksodus manufaktur sudah berlangsung lantaran ketidakpastian yang dipicu oleh perang dagang AS-China pada tahun 2019. Virus corona baru telah mempercepat tren tersebut dan mendorong lebih banyak perusahaan untuk mengurangi ketergantungan mereka dari Tiongkok sebagai pemasok tunggal.

Baca Juga: Daftar 100 negara teraman dari Covid-19, Indonesia berada di peringkat 97

Sebagian besar perusahaan manufaktur AS bergerak menuju Asia Tenggara dan Asia Selatan, menurut laporan oleh Qima, sebuah perusahaan pengawasan mutu dan inspeksi rantai pasokan yang berbasis di Hong Kong.

Laporan Qima mengacu pada data yang dikumpulkan dari puluhan ribu inspeksi rantai pasokan yang dilakukan secara global untuk merek dan pengecer barang konsumen. Para perusahaan menggunakan laporan inspeksi ini untuk membuat keputusan tentang apakah akan bermigrasi ke pemasok baru.

Dalam dua bulan pertama tahun ini, permintaan untuk inspeksi dan audit dari pembeli Amerika Utara meningkat 45% year-on-year (yoy) di Asia Tenggara. Negara yang memperoleh manfaat dari kondisi ini adalah Vietnam, Myanmar dan Filipina. Namun nama Indonesia luput dari laporan tersebut.

Sementara itu, permintaan untuk inspeksi rantai pasokan melonjak 52% di Asia Selatan. Di kawasan ini, Bangladesh menjadi negara tujuan paling populer, terutama untuk merek tekstil dan pakaian jadi.

Baca Juga: Vietnam meratifikasi kesepakatan perdagangan bebas dengan Uni Eropa

Selain itu, jajak pendapat oleh Qima terhadap lebih dari 200 perusahaan pada akhir Februari menunjukkan 87% responden meyakini pandemi corona akan memicu perubahan signifikan dalam manajemen rantai pasokan mereka di masa depan.

Untuk mengurangi risiko kekurangan pasokan yang timbul dari penutupan pabrik di China, lebih dari setengah responden juga mencatat bahwa mereka sudah mulai beralih ke pemasok di wilayah yang tidak terpengaruh oleh virus.

Rantai suplai global memang terganggu dalam beberapa bulan terakhir akibat Covid-19 menyebar ke negara lain di dunia. Masa depan manufaktur Asia di luar Tiongkok akan bergantung pada kemampuan negara-negara di kawasan ini untuk bertahan dari krisis kesehatan.

"Setelah China ditutup pada awal tahun ini, mereka juga terjebak dalam lockdown," kata Mathieu Labasse, Chief Marketing Officer Qima, kepada The Epoch Times melalui surat elektronik.

Baca Juga: Kerahkan alat canggih, Beijing tahu semua aktivitas tetangga di Laut China Selatan

Dia mengatakan, penguncian itu mempengaruhi produksi dan permintaan akibat penutupan pasar ekspor global.

“Kami melihat volume turun lebih dari 40% (yoy) pada bulan April dan Mei di Asia Tenggara, dan sebanyak 80% untuk Asia Selatan (India, Bangladesh, Pakistan),” kata Labasse.

Namun, perusahaan inspeksi percaya bahwa diversifikasi sumber daya akan meningkat ketika perdagangan global kembali berputar.

"Merek dan pengecer yang terkena badai kemungkinan akan merombak portofolio pemasok, yakni pabrik-pabrik yang berhasil selamat dari kuncian," kata laporan Qima.

Perlambatan permintaan global karena lockdown, terutama di Eropa dan Amerika Serikat, juga telah memukul pemasok China.

Baca Juga: Gejolak politik di AS turut mendorong dana asing masuk ke pasar saham Asia

"Setelah naik singkat pada pertengahan Maret ketika pabrik-pabrik China dibuka kembali, volume kembali anjlok pada April dan Mei karena pasar ekspor ditutup," kata Labasse. Qima mencatat penurunan 20% (yoy) dalam volume inspeksi di Tiongkok selama dua bulan terakhir.

Namun, gambarannya sangat berbeda untuk peralatan pelindung pribadi (APD), karena China adalah pemasok global yang dominan.

"Kami melihat masuknya volume inspeksi masker besar-besaran, terutama mulai pertengahan Mei," kata Labasse.

Baca Juga: Tatanan Perekonomian Global Pasca Korona

Dalam dua dekade terakhir, Tiongkok telah menjadi pemasok global yang penting. Menurut PBB, China menyumbang hampir 20% dari perdagangan global dalam produk-produk setengah jadi, naik signifikan dari tahun 2002 sebesar 4%.

Sebagian besar perusahaan besar AS besar telah berinvestasi dalam fasilitas dan sumber daya manusia di China untuk mendapatkan akses ke pasar Tiongkok. Mereka juga telah menyerahkan kekayaan intelektualnya sebagai harga yang dibayar untuk masuk.

Namun pandemi Covid-19, ditambah sentimen buruk terhadap rezim Tiongkok selama beberapa bulan terakhir, telah memaksa banyak perusahaan untuk memikirkan kembali hubungan mereka dengan China.

Baca Juga: Berhasil atasi virus corona, wisatawan dari empat negara ini bisa ke Jepang

Dalam upaya diversifikasi rantai pasokannya, Apple tahun lalu meminta pemasok utama untuk mempertimbangkan memindahkan volume produksi mereka dari China ke Asia Tenggara. Perusahaan juga memulai proses pemindahan fasilitas produksi AirPods, earbuds nirkabel populer mereka, dari China ke Vietnam.

Setidaknya 50 perusahaan multinasional, termasuk asal Amerika, Jepang dan Taiwan, mengumumkan rencana pada tahun 2019 untuk menggeser manufaktur mereka keluar dari Tiongkok untuk menghindari tarif AS.




TERBARU
Kontan Academy
Pre-IPO : Explained Supply Chain Management on Efficient Transportation Modeling (SCMETM)

[X]
×