Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - SEOUL. Aktivitas pabrik di Korea Selatan terus menyusut untuk bulan keenam berturut-turut pada Juli 2025.
Ketidakpastian seputar kebijakan tarif Amerika Serikat menekan produksi dan pesanan baru di negara ekonomi terbesar keempat di Asia ini.
Data S&P Global menunjukkan indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur Korea Selatan turun menjadi 48,0 pada Juli dari 48,7 di bulan sebelumnya.
Baca Juga: PMI Manufaktur Jepang Kembali Terpuruk di Juli, Produksi dan Pesanan Baru Menyusut
Angka ini tetap berada di bawah ambang batas netral 50,0 sejak Februari, menandakan kondisi operasional yang terus memburuk.
“PMI bulan Juli menunjukkan bahwa sektor manufaktur Korea mengalami penurunan kondisi bisnis yang lebih tajam dibanding bulan sebelumnya,” kata Usamah Bhatti, ekonom di S&P Global Market Intelligence.
Produksi dan Pesanan Merosot, Ekspor AS-Jepang Melemah
Sub-indeks produksi dan pesanan baru menunjukkan penurunan yang lebih dalam dibandingkan Juni. Melemahnya permintaan domestik turut diperparah oleh kekhawatiran terkait tarif AS.
Meski demikian, laju kontraksi pesanan ekspor baru sedikit melambat dan menjadi yang paling ringan dalam empat bulan terakhir.
Baca Juga: Australia Aman dari Kenaikan Tarif AS, Tetap di Level 10%
Namun, pelaku industri menyebut penurunan signifikan terjadi pada volume pesanan dari Amerika Serikat dan Jepang.
Survei dilakukan antara 10 hingga 23 Juli, sebelum Korea Selatan dan AS mencapai kesepakatan dagang pada Rabu (30/7/2025) yang menurunkan tarif menjadi 15% dari ancaman sebelumnya sebesar 25%.
Keyakinan Bisnis Meredup
Berbeda dengan Jepang yang mencatat peningkatan optimisme, kepercayaan pelaku industri manufaktur Korea Selatan justru memburuk di Juli.
Baca Juga: PMI Manufaktur China Turun ke 49,5 di Juli, Tanda Lesunya Aktivitas Pabrik
Ini menjadi pertama kalinya dalam tiga bulan pelaku industri menunjukkan pandangan negatif terhadap prospek setahun ke depan.
"Para produsen menyuarakan kekhawatiran atas lambatnya pemulihan ekonomi domestik dan ketidakpastian lanjutan mengenai kebijakan tarif AS," demikian kutipan dalam laporan tersebut.