Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
Trump dan Putin Bahas Perjanjian Damai
Dalam unggahan media sosial setelah pembicaraan, Trump menyatakan bahwa dirinya dan Putin telah sepakat untuk bekerja menuju gencatan senjata penuh dan akhirnya perjanjian damai permanen.
"Kami membahas berbagai elemen dari Contract for Peace, termasuk fakta bahwa ribuan tentara telah terbunuh, dan baik Presiden Putin maupun Presiden Zelenskiy ingin perang ini segera berakhir," tulis Trump.
Pada 11 Maret, Ukraina menyatakan kesiapannya untuk menerima gencatan senjata penuh selama 30 hari, yang oleh pejabat AS dianggap sebagai langkah awal menuju negosiasi lebih substansial guna mengakhiri perang terbesar di Eropa sejak Perang Dunia II.
Perang ini telah menewaskan atau melukai ratusan ribu orang, membuat jutaan warga mengungsi, dan menghancurkan banyak kota.
Trump mengisyaratkan bahwa perjanjian damai permanen mungkin mencakup konsesi wilayah oleh Kyiv serta kendali Rusia atas pembangkit listrik tenaga nuklir Zaporizhzhia di Ukraina.
Setelah panggilan telepon antara Trump dan Putin, Zelenskiy tiba di Helsinki, Finlandia, untuk kunjungan resmi dan menegaskan bahwa Eropa harus dilibatkan dalam perundingan damai Ukraina.
Baca Juga: Ini Ancaman Trump kepada Rusia Jika Putin Tolak Perjanjian Damai
Kekhawatiran Eropa atas Perubahan Sikap AS
Kesepakatan gencatan senjata terbatas ini mencerminkan keinginan Trump untuk menormalisasi hubungan dengan Rusia, yang menurut Susan Colbourn, pakar keamanan Eropa dari Duke University's Sanford School of Public Policy, dapat menjadi strategi Putin untuk membeli waktu.
"Sangat mencolok betapa sedikitnya tuntutan yang diajukan Trump kepada Rusia, padahal mereka adalah pihak yang menginvasi," kata Colbourn.
Upaya Trump untuk mendekati Putin sejak kembali ke Gedung Putih pada Januari telah mengkhawatirkan sekutu-sekutu AS.
Ukraina dan negara-negara Barat telah lama mengecam invasi Rusia sebagai upaya ekspansi imperialistis, sementara Zelenskiy menuduh Putin sengaja memperpanjang perang.
Zelenskiy menegaskan bahwa kedaulatan Ukraina tidak bisa dinegosiasikan, dan Rusia harus mengembalikan seluruh wilayah yang telah diduduki.
Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, pada Selasa memperingatkan bahwa Rusia telah secara besar-besaran meningkatkan kapasitas produksi militernya, sebagai persiapan untuk konflik di masa depan dengan negara-negara demokrasi Eropa.
Dalam konferensi pers bersama Presiden Prancis Emmanuel Macron di Berlin, Kanselir Jerman Olaf Scholz menyatakan bahwa meskipun gencatan senjata terbatas merupakan langkah penting, gencatan senjata penuh tetap menjadi prioritas. Ia kembali menekankan bahwa Ukraina harus dilibatkan dalam setiap keputusan akhir.
Baca Juga: Putin Gempur Ukraina dengan Serangan Drone di Tengah Seruan Gencatan Senjata Trump
Latar Belakang Konflik
Rusia merebut Semenanjung Crimea dari Ukraina pada 2014 dan menduduki sebagian dari empat wilayah timur Ukraina setelah invasi pada Februari 2022. Secara keseluruhan, Rusia kini menguasai sekitar 20% wilayah Ukraina.
Putin menyatakan bahwa invasinya bertujuan melindungi keamanan Rusia dari ekspansi NATO. Ia menuntut agar Ukraina menghentikan upayanya untuk bergabung dengan aliansi militer Barat tersebut.
Putin juga menegaskan bahwa Rusia harus mempertahankan kendali atas wilayah Ukraina yang telah didudukinya, sanksi Barat harus dicabut, dan Ukraina harus mengadakan pemilu presiden.
Zelenskiy, yang terpilih pada 2019, tetap menjabat dengan menerapkan hukum darurat militer sejak perang dimulai.