Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Serangan militer Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklir Iran yang diumumkan langsung oleh Presiden Donald Trump di platform Truth Social diperkirakan akan memicu reaksi spontan pasar global ketika dibuka kembali.
Para investor memprediksi lonjakan harga minyak dan gelombang aksi beli terhadap aset-aset safe haven akibat meningkatnya ketegangan geopolitik.
Pasar Global Bersiap Hadapi Gejolak
Serangan ini memperdalam keterlibatan militer AS dalam konflik Timur Tengah, menimbulkan kekhawatiran baru di kalangan investor mengenai potensi eskalasi konflik dan dampaknya terhadap perekonomian global.
“Saya rasa pasar akan sangat terguncang secara awal. Harga minyak kemungkinan besar akan dibuka lebih tinggi,” ujar Mark Spindel, Chief Investment Officer di Potomac River Capital.
Spindel menambahkan bahwa meskipun Trump menyebut operasi militer ini sebagai “sukses spektakuler”, belum ada penilaian kerusakan yang pasti, sehingga ketidakpastian akan tetap menyelimuti pasar dalam waktu dekat.
Baca Juga: Maskapai Penerbangan Global Hindari Wilayah Timur Tengah Usai Serangan AS ke Iran
Harga Minyak dan Inflasi Jadi Perhatian Utama
Lonjakan harga minyak menjadi kekhawatiran utama karena dapat memicu inflasi global. Hal ini bisa menurunkan kepercayaan konsumen dan menggagalkan peluang penurunan suku bunga dalam waktu dekat.
“Ini menambah lapisan risiko baru yang sangat rumit,” kata Jack Ablin, CIO Cresset Capital. “Dampaknya terhadap harga energi dan inflasi sangat mungkin terjadi.”
Sejak 10 Juni, harga minyak mentah Brent telah naik 18%, mencapai level tertinggi lima bulan di US$79,04 per barel. Namun, indeks saham S&P 500 nyaris stagnan setelah sempat melemah saat Israel memulai serangannya ke Iran pada 13 Juni.
Sebelum serangan terbaru dari AS, Oxford Economics telah membuat tiga skenario prediktif, termasuk skenario ekstrem berupa penghentian total produksi minyak Iran dan penutupan Selat Hormuz. Dalam skenario terburuk, harga minyak global bisa melonjak hingga US$130 per barel, yang akan mendorong inflasi AS mendekati 6% di akhir tahun.
Risiko Gagalnya Pemangkasan Suku Bunga
Oxford Economics memperingatkan bahwa lonjakan harga minyak akan memukul daya beli konsumen dan menghapus kemungkinan penurunan suku bunga oleh The Fed tahun ini.
“Skala inflasi dan potensi efek sekunder terhadap harga membuat peluang pemangkasan suku bunga jadi nyaris mustahil,” tulis laporan Oxford.
Namun, ada juga pandangan bahwa dampak harga minyak bisa bersifat sementara. Jamie Cox dari Harris Financial Group mengatakan bahwa kekuatan militer AS yang diperlihatkan dapat memaksa Iran untuk duduk di meja perundingan.
“Setelah kehilangan seluruh fasilitas nuklirnya, Iran kemungkinan besar akan memilih jalan damai,” kata Cox.
Baca Juga: Dunia Terbelah! Ini Reaksi Keras Pemimpin Dunia atas Serangan AS ke Iran
Efek Terhadap Saham dan Dolar AS
Secara historis, pasar saham cenderung pulih pasca eskalasi militer. Contohnya saat invasi Irak pada 2003 dan serangan terhadap fasilitas minyak Saudi pada 2019, indeks S&P 500 sempat turun tetapi berhasil rebound dalam beberapa bulan berikutnya.
Rata-rata, indeks S&P 500 turun 0,3% dalam tiga minggu setelah konflik pecah, namun naik 2,3% dua bulan setelahnya, menurut data dari Wedbush Securities dan CapIQ Pro.
Di sisi lain, nilai tukar dolar AS bisa mendapatkan dorongan awal karena investor mencari aset aman. Namun, kepercayaan terhadap "keistimewaan ekonomi AS" telah melemah dalam beberapa waktu terakhir.
“Jika terjadi aksi beli besar-besaran terhadap aset aman, maka imbal hasil obligasi bisa turun dan dolar akan menguat,” ujar Steve Sosnick dari IBKR.