Sumber: Al Jazeera | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasukan Israel melancarkan serangan intensif di Jalur Gaza, menewaskan 53 warga Palestina pada Minggu (14/9), termasuk 35 orang di Gaza City.
Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, dua korban lainnya meninggal akibat malnutrisi, sehingga total korban kelaparan sejak awal perang mencapai 422 jiwa.
Serangan terbaru menghancurkan 16 bangunan di Gaza City, termasuk tiga menara hunian. Salah satunya adalah menara al-Kawthar di kawasan Remal selatan yang dihancurkan dua jam setelah ditandai sebagai target.
Puluhan ribu warga sipil kembali mengungsi akibat bombardir. “Kami tidak tahu harus ke mana. Kami sekarat di sini,” ungkap Marwan al-Safi, seorang pengungsi Palestina.
Tuduhan “Pemboman Sistematis”
Kantor Media Pemerintah Gaza mengecam serangan Israel sebagai bentuk “pemboman sistematis” yang bertujuan melakukan pemusnahan dan pengusiran paksa.
Baca Juga: 10 Negara Menolak Palestina Merdeka, Salah Satunya Tetangga Indonesia
Menurut pernyataannya, klaim Israel menargetkan kelompok bersenjata tidak sesuai realitas lapangan, di mana sekolah, masjid, rumah sakit, hingga kantor lembaga kemanusiaan internasional menjadi sasaran.
Kepala UNRWA, Philippe Lazzarini, mengungkapkan bahwa 10 gedung milik UNRWA di Gaza City terkena serangan dalam empat hari terakhir, termasuk tujuh sekolah dan dua klinik yang menampung ribuan pengungsi. “Tidak ada tempat aman di Gaza. Tidak ada seorang pun yang aman,” tulisnya di platform X.
Krisis Kemanusiaan di al-Mawasi
Warga sipil yang mengungsi ke al-Mawasi, zona yang disebut Israel sebagai “aman”, menghadapi kondisi mengerikan. UNICEF menyebut situasi di lokasi itu semakin memburuk.
Pengungsi melaporkan kekurangan air bersih, makanan, dan tempat tinggal. Seorang warga, AbedAllah Aram, mengaku keluarganya kekurangan pangan, tenda, serta akses sanitasi.
“Kelaparan melanda, dan musim dingin akan datang. Kami tidak sanggup lagi menanggung perang genosida ini,” ujarnya.
UNICEF menggambarkan kisah memilukan seorang perempuan, Seera, yang terpaksa melahirkan di jalan setelah diperintahkan mengungsi dari Gaza City.
Kecaman Internasional: Qatar Jadi Sorotan
Ketegangan meningkat setelah serangan Israel di Doha, Qatar, pekan lalu yang menewaskan lima anggota Hamas dan seorang petugas keamanan Qatar. Langkah ini memicu kemarahan Arab dan dunia Islam.
Dalam pertemuan persiapan KTT Doha, para pemimpin Arab dan Islam mengutuk serangan tersebut sebagai tindakan “barbar” dan menyebut Israel melakukan genosida, pembersihan etnis, kelaparan, dan pengepungan.
Perdana Menteri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, menuntut langkah tegas untuk melindungi kedaulatan negaranya dan mengecam standar ganda internasional terhadap Israel.
Baca Juga: KTT Darurat Arab-Islam: Qatar & Turki Bahas Serangan Israel
Sekjen Liga Arab, Ahmed Aboul Gheit, menilai “diamnya dunia” telah membuat Israel bertindak sewenang-wenang.
Respons Amerika Serikat dan Israel
Meski menuai kritik, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan hubungan dengan Amerika Serikat tetap kokoh. Ia menyampaikan hal itu saat menerima Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio di Yerusalem.
Rubio mengakui Presiden Donald Trump “tidak senang” dengan serangan di Doha, namun menegaskan hubungan AS–Israel tetap “sangat kuat”.
Sementara itu, beberapa pejabat Israel berjanji akan terus memburu pemimpin Hamas di luar negeri, termasuk di negara anggota NATO, Turkiye. Namun laporan media Israel menyebut Kepala Mossad, David Barnea, menentang serangan di Qatar karena dikhawatirkan merusak peluang negosiasi gencatan senjata.
Korban Perang dan Dampaknya
Sejak perang dimulai pasca serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, Kementerian Kesehatan Gaza mencatat 64.871 warga Palestina tewas dan 164.610 terluka.
Di pihak Israel, surat kabar Haaretz melaporkan 20.000 tentara Israel mengalami luka, dengan lebih dari separuhnya menderita trauma psikologis. Diperkirakan jumlah ini bisa mencapai 50.000 pada 2028.