Sumber: Reuters | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. FIFA secara resmi menetapkan Arab Saudi sebagai tuan rumah Piala Dunia 2034 pada Rabu lalu.
Keputusan ini memicu gelombang kritik, termasuk dari serikat pemain sepak bola profesional Australia, Professional Footballers Australia (PFA), yang menyuarakan kekhawatiran mendalam terkait risiko pelanggaran hak asasi manusia yang signifikan.
Keprihatinan Serikat Pemain Australia
Direktur PFA, Beau Busch, menyatakan pentingnya komunitas sepak bola internasional untuk menuntut akuntabilitas FIFA atas keputusan ini.
Baca Juga: Liverpool Amankan Bek Muda dari Manchester City Sebelum Bursa Transfer Januari 2025
"Risiko hak asasi manusia yang signifikan terkait dengan turnamen ini telah terdokumentasi dengan baik," ujar Busch dalam pernyataan resmi yang dikirim ke Reuters.
"Dengan memastikan hak tuan rumah untuk acara paling bergengsi dalam sepak bola global, Arab Saudi dan FIFA harus menjamin perlindungan hak semua pihak yang terlibat dalam Piala Dunia 2034," tambahnya.
Busch juga menyoroti kelemahan tata kelola FIFA dan kurangnya akuntabilitas terhadap komitmennya pada hak asasi manusia, yang menciptakan keraguan apakah FIFA dapat mencegah pelanggaran selama turnamen.
Kritik terhadap Rekam Jejak Hak Asasi Manusia Arab Saudi
Keputusan FIFA menggelar Piala Dunia di Arab Saudi menuai kritik tajam dari berbagai organisasi, termasuk kelompok pekerja migran, serikat buruh, dan aktivis LGBT.
Mereka mempersoalkan catatan hak asasi manusia kerajaan tersebut, termasuk isu kebebasan berekspresi, hak perempuan, dan perlakuan terhadap komunitas LGBT.
Pemerintah Arab Saudi, yang sering kali membantah tuduhan pelanggaran hak asasi manusia, mengklaim bahwa undang-undangnya bertujuan melindungi keamanan nasional.
Namun, hal ini tidak meredakan kekhawatiran banyak pihak atas penyelenggaraan turnamen di negara tersebut.
Baca Juga: Klasemen Liga Champions: Barcelona Susul Liverpool ke Fase Gugur, Manchester City?
Keputusan Sepihak FIFA dan Minimnya Alternatif
Arab Saudi mengonfirmasi niatnya untuk menjadi tuan rumah hanya beberapa menit setelah FIFA mengumumkan bahwa Piala Dunia 2034 akan diadakan di Asia atau Oseania.
Dengan waktu kurang dari empat minggu untuk mengajukan penawaran saingan, tidak ada negara lain yang bersaing dalam proses tersebut.
Meski Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) mendukung penuh Arab Saudi, Football Australia sempat mempertimbangkan pengajuan bersama dengan Indonesia sebelum akhirnya mengundurkan diri.
Sikap Australia terhadap Arab Saudi
Australia memiliki sejarah kritik terhadap tuan rumah Piala Dunia yang memiliki catatan hak asasi manusia yang dipertanyakan.
Pada Piala Dunia 2022 di Qatar, tim nasional pria Australia merilis video yang mengecam catatan Qatar tentang hak asasi manusia dan hubungan sesama jenis.
Dalam kasus Arab Saudi, Football Australia (FA) sebelumnya juga keberatan terhadap rencana sponsor pemerintah Arab Saudi untuk Piala Dunia Wanita 2023.
Namun, FA kemudian bergabung dengan mayoritas asosiasi sepak bola internasional yang mendukung penawaran Arab Saudi untuk Piala Dunia 2034.
"Arab Saudi telah menunjukkan komitmen yang kuat untuk menjadi tuan rumah turnamen kelas dunia, dan kami tetap percaya pada kerangka kerja FIFA serta kapasitas Piala Dunia untuk membawa perubahan positif," ujar FA dalam pernyataan kepada Reuters.
Baca Juga: Juventus Jungkalkan Manchester City: Guardiola di Bawah Tekanan
Implikasi Keputusan FIFA
Kritik terhadap FIFA mencerminkan ketidakpuasan yang meluas terhadap cara organisasi tersebut menangani isu-isu hak asasi manusia dalam sepak bola global.
Dengan Piala Dunia 2034 yang dipastikan akan digelar di Arab Saudi, tekanan terhadap FIFA untuk memastikan pelaksanaan turnamen yang menghormati hak asasi manusia semakin meningkat.
Namun, skeptisisme tetap ada, mengingat rekam jejak FIFA yang dianggap gagal dalam menegakkan standar hak asasi manusia dalam turnamen-turnamen sebelumnya.
Keputusan ini akan menjadi ujian besar bagi FIFA dalam membuktikan komitmennya terhadap tata kelola yang lebih baik dan penghormatan terhadap hak-hak universal.