kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Studi baru: Lockdown harus dilakukan enam minggu agar efektif tangkal pandemi corona


Jumat, 03 April 2020 / 09:13 WIB
Studi baru: Lockdown harus dilakukan enam minggu agar efektif tangkal pandemi corona
ILUSTRASI. Suasana sepi di Milan, Italia. Sebuah studi baru di AS menyebut lockdown harus dilakukan 6 minggu agar efektif tangkal pandemi corona. REUTERS/Flavio Lo Scalzo


Sumber: South China Morning Post | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Penguncian wilayah alias lockdown nampaknya harus dilakukan lebih lama dari perkiraan sebelumnya guna mengekang penyebaran virus corona secara efektif.

Hal itu terungkap dalam hasil penelitian terbaru yang dilakukan oleh sejumlah peneliti di Amerika Serikat.

Baca Juga: Trump jajal tes corona dengan diagnostik cepat 15 menit, hasilnya negatif lagi

Dilansir dari South China Morning Post, penelitian ini menyebut bahwa kebijakan lockdown atau berdiam diri di rumah harus dilakukan selama enam minggu agar virus corona bisa dikendalikan di suatu wilayah.

Menurut penelitian yang diterbitkan minggu ini di SSRN, sebuah jurnal open-source untuk penelitian tahap awal, mencatat negara-negara yang mengadopsi intervensi agresif mungkin melihat moderasi wabah setelah hampir tiga minggu, kontrol penyebaran setelah satu bulan, dan penahanan penyebaran setelah 45 hari.

Para peneliti mendefinisikan intervensi agresif sebagai lockdown, tinggal di rumah, pengujian massal dan karantina. Dengan intervensi yang kurang agresif, prosesnya bisa lebih lama.

"Dengan tidak adanya vaksin, obat, atau pengujian dan karantina besar-besaran, penguncian dan kewajiban tinggal di rumah harus dilakukan selama berbulan-bulan," tulis para peneliti.

Baca Juga: Sedih, angka kematian di Spanyol akibat virus corona tembus 10.000

Para peneliti - Gerard Tellis dari Marshall School of Business dari University of Southern California, Ashish Sood dari University of California Riverside A. Gary Anderson Graduate School of Management, dan Nitish Sood mendasarkan temuan mereka pada pemeriksaan di 36 negara dan 50 negara bagian di AS.

Tellis mengatakan bahwa perbedaan juga dapat bergantung pada ukuran negara, perbatasan, budaya dalam memberikan salam, suhu, kelembaban, dan garis lintang.

Mereka mengatakan studi mereka mendukung pembatasan agresif, apakah itu penguncian ketat seperti di Italia dan California, pengujian besar-besaran dan karantina seperti di Korea Selatan dan Singapura, atau kombinasi keduanya seperti yang dilakukan di China.

"Singapura dan Korea Selatan mengadopsi jalur uji besar-besaran dan karantina, yang tampaknya menjadi satu-satunya alternatif yang berhasil untuk menekan biaya," tulis Sood.

Baca Juga: Harapan baru, Australia mulai uji pra-klinis vaksin virus corona

Mereka mengatakan AS menghadapi tantangan yang unik karena hanya setengah dari negara bagian yang mengadopsi intervensi agresif, dan melakukannya pada waktu yang berbeda-beda.

Pada awal bulan lalu, ketika AS melaporkan sekitar 1.000 kasus virus corona dan puluhan kematian, para pejabat AS mengatakan bahwa risiko infeksi bagi masyarakat Amerika terbilang rendah.

Namun jumlah kasus telah meningkat secara eksponensial selama dua minggu terakhir, dengan laporan 213.372 kasus pada hari Kamis waktu setempat.

Baca Juga: Korea Utara klaim hingga saat ini warganya tidak ada yang terinfeksi virus corona




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×