Reporter: Harris Hadinata | Editor: Harris Hadinata
KONTAN.CO.ID - SINGAPURA. Tatanan ekonomi dan perdagangan global tengah berubah. Kondisi ini terangkum dalam FutureChina Global Forum 2025 yang digelar di Marina Sands Expo & Convention Center, Singapura.
Pendiri dan Executive Chairman Avanda Investment Management Ng Kok Song menyatakan, program Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump membuat Amerika kembali jaya, alias Make America Great Again, mengubah tatanan ekonomi dunia.
Langkah Presiden AS, melalui penerapan tarif resiprokal dan kebijakan lainnya, membangkitkan era exceptionalism. Kondisi ini berbeda dengan situasi di tahun 1980-an hingga 1990-an, di mana AS masih menggaungkan perdagangan bebas.
Kondisi ini otomatis mempengaruhi ekonomi global dan sistem perdagangan global. Salah satu akibatnya, menurut Direktur East Asian Institute Alfred Schipke, saat ini istilah perusahaan global sudah tidak lagi relevan.
Baca Juga: Tatanan Dunia Bergeser, Negara Paling dan Paling Tidak Damai Terungkap
Schipke menjelaskan, perusahaan global adalah perusahaan yang melakukan pengelolaan secara global dengan efisien. Perusahaan tersebut mengelola mata rantai produksi hingga pemasaran secara global. “Tapi sekarang tidak seperti itu lagi,” kata Schipke di Singapura, Jumat (19/9/2025).
Yang terjadi saat ini, banyak perusahaan, khususnya di industri manufaktur, lebih menjalankan bisnis yang bersifat lokal. Ini misalnya dialami perusahaan otomotif.
Banyak perusahaan otomotif global yang akhirnya membangun pabrik di China untuk memproduksi produk yang juga dijual di China. Bahan bakunya pun mengambil dari China.
Perusahaan tersebut akhirnya juga bersaing dengan perusahaan otomotif lokal di China. “Kita tidak akan lagi kembali ke masa di mana perusahaan global menguasai mata rantai secara global,” tutur Schipke.
Baca Juga: Indonesia Bersiap! Sri Mulyani Akui Ketidakpastian Global Saat Ini Bersifat Permanen
Di sisi lain, kondisi seperti ini jadi menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan lokal yang berada di wilayah dengan sumber daya yang kaya. Salah satunya China.
Selain itu, bisnis kecil dan menengah juga berpeluang mendapat sentimen positif dari kondisi ini. “Karena mereka bisa bergerak dengan cepat,” jelas Schipke.