Sumber: Al Jazeera | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON/HONG KONG. Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengungkapkan bahwa dirinya secara langsung telah meminta Presiden China Xi Jinping untuk mempertimbangkan pembebasan Jimmy Lai, taipan media pro-demokrasi Hong Kong yang saat ini dipenjara.
Trump menyatakan kekhawatiran mendalam terhadap kondisi kesehatan Lai yang berusia 78 tahun, menyusul vonis bersalah dalam persidangan keamanan nasional di Hong Kong.
Pada Senin waktu setempat, Pengadilan Tinggi Hong Kong menyatakan Lai bersalah atas tiga dakwaan dalam kasus keamanan nasional. Putusan tersebut dikecam luas oleh kelompok hak asasi manusia sebagai pukulan telak terhadap kebebasan pers di pusat keuangan China tersebut.
Baca Juga: Trump Gugat BBC, Ajukan Ganti Rugi Senilai US$ 5 Miliar
Jaksa menuduh Lai mengorkestrasi konspirasi untuk mendorong pemerintah asing mengambil tindakan terhadap Hong Kong atau China, serta menerbitkan materi yang dinilai “menghasut ketidakpuasan” terhadap otoritas China.
Lai menyatakan tidak bersalah atas seluruh dakwaan. Namun, dengan vonis tersebut, ia kini menghadapi ancaman hukuman penjara seumur hidup.
“Saya berbicara dengan Presiden Xi tentang hal itu, dan saya meminta agar pembebasannya dipertimbangkan,” kata Trump kepada wartawan pada Senin, tanpa merinci kapan permintaan itu disampaikan.
“Dia sudah lanjut usia dan kondisinya tidak sehat. Karena itu saya menyampaikan permintaan tersebut. Kita lihat saja apa yang akan terjadi,” ujar Trump.
Trump diketahui bertemu Xi Jinping pada Oktober lalu di Korea Selatan, di mana ia diyakini telah mengangkat kasus Jimmy Lai dalam pertemuan tersebut.
Tak lama setelah pernyataan Trump, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menegaskan bahwa putusan pengadilan tersebut mencerminkan tekad Beijing untuk menekan perbedaan pendapat.
Baca Juga: Trump Siapkan Gugatan ke BBC Terkait Editan Pidato Capitol 2021
Rubio menyatakan vonis itu menunjukkan upaya China untuk “membungkam mereka yang berusaha melindungi kebebasan berbicara dan hak-hak fundamental lainnya.”
Jimmy Lai adalah pendiri Apple Daily, surat kabar tabloid pro-demokrasi yang kini telah ditutup. Ia menjadi salah satu figur paling menonjol yang dijerat Undang-Undang Keamanan Nasional Hong Kong.
“Laporan menunjukkan bahwa kondisi kesehatan Tuan Lai telah memburuk secara serius selama lebih dari 1.800 hari di penjara,” kata Rubio dalam pernyataannya.
“Kami mendesak otoritas terkait untuk mengakhiri penderitaan ini sesegera mungkin dan membebaskan Tuan Lai atas dasar kemanusiaan,” tambahnya.
Inggris Desak Pembebasan, Keluarga Minta Tekanan Ditingkatkan
Pemerintah Inggris turut mengkritik vonis terhadap Lai sebagai penuntutan bermotif politik dan menyerukan pembebasan segera. Lai, yang ditahan sejak akhir 2020, diketahui merupakan warga negara Inggris.
Putranya, Sebastien Lai, menyatakan Inggris perlu meningkatkan tekanan terhadap Beijing.
“Sudah saatnya kata-kata diikuti dengan tindakan dan menjadikan pembebasan ayah saya sebagai prasyarat bagi hubungan yang lebih erat dengan China,” ujar Sebastien dalam konferensi pers di London.
Sementara itu, putri Lai, Claire Lai, mengatakan ayahnya akan meninggalkan aktivitas politik jika dibebaskan.
“Dia hanya ingin berkumpul kembali dengan keluarganya. Dia ingin mendedikasikan hidupnya untuk melayani Tuhan dan menghabiskan sisa waktunya bersama keluarga,” ujarnya kepada Associated Press di Washington.
Baca Juga: Efek Tarif Belum Terasa, Trump Ragu Partai Republik Menang di DPR
“Ayah saya pada dasarnya bukanlah orang yang beroperasi di wilayah ilegal,” tambahnya.
Sebagai seorang Katolik yang taat, Lai memperoleh dukungan di Amerika Serikat dari koalisi longgar aktivis demokrasi, kelompok kebebasan pers, dan aktivis Kristen—konstituen yang juga dikenal sebagai bagian penting dari basis politik Trump.
Dampak Besar bagi Kebebasan Pers Hong Kong
Penutupan paksa Apple Daily pada 2021, yang sebelumnya dikenal dengan liputan kritisnya terhadap pemerintah, menjadi titik balik lanskap media Hong Kong. Sejak itu, banyak organisasi media mengurangi pemberitaan kritis terkait China karena kekhawatiran akan penuntutan hukum.
Peringkat kebebasan pers global Hong Kong pun merosot tajam, turun ke peringkat 140 dari 180 negara, menurut kelompok advokasi RFA.
“Meskipun putusan ini sudah diperkirakan, ketika berita itu benar-benar keluar, perasaan ‘akhirnya ini terjadi’ sangat terasa,” kata Edward Li, mantan editor Apple Daily yang kini tinggal di Taiwan.
“Bukan hanya Apple Daily yang sudah tidak ada; Hong Kong juga kehilangan suara kuat untuk mengkritik dan mengawasi pemerintah. Itulah mengapa kami merasa perlu mengisi peran tersebut,” ujarnya.












