Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
Optimisme Hati-hati dari Moskow
Pada Jumat lalu, Kremlin mengatakan bahwa Putin telah mengirim pesan kepada Trump mengenai rencana gencatan senjata melalui utusan AS, Steve Witkoff, yang mengadakan pembicaraan di Moskow.
Dalam pesan tersebut, Putin menyatakan "optimisme hati-hati" bahwa kesepakatan dapat dicapai untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung selama tiga tahun.
Namun, pada Minggu, Witkoff, Menteri Luar Negeri Marco Rubio, dan Penasihat Keamanan Nasional Trump, Mike Waltz, menegaskan bahwa masih ada tantangan yang harus diselesaikan sebelum Rusia menyetujui gencatan senjata, apalagi mencapai resolusi damai akhir.
Ketika ditanya dalam wawancara di ABC apakah AS akan menerima perjanjian damai di mana Rusia diperbolehkan mempertahankan wilayah Ukraina yang telah direbut, Waltz menjawab:
"Kita harus bertanya pada diri kita sendiri, apakah ini demi kepentingan nasional kita? Apakah ini realistis?... Apakah kita benar-benar akan mengusir setiap tentara Rusia dari setiap inci tanah Ukraina?"
Baca Juga: Putin Gempur Ukraina dengan Serangan Drone di Tengah Seruan Gencatan Senjata Trump
Jaminan Keamanan 'Mutlak' Rusia
Zelenskiy belum menanggapi secara terbuka pernyataan Waltz. Ia telah menyatakan bahwa ada peluang baik untuk mengakhiri perang setelah Ukraina menerima proposal gencatan senjata dari AS.
Namun, ia tetap menegaskan bahwa kedaulatan Ukraina tidak dapat dinegosiasikan dan bahwa Rusia harus mengembalikan semua wilayah yang telah direbutnya.
Rusia telah merebut Semenanjung Krimea pada tahun 2014 dan saat ini menguasai sebagian besar dari empat wilayah timur Ukraina setelah invasi yang dimulai pada 2022.
Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Alexander Grushko menyatakan bahwa Moskow akan menuntut jaminan keamanan yang "mutlak" dalam perjanjian damai apa pun.
Dalam wawancara dengan media Rusia Izvestia yang diterbitkan pada Senin, Grushko menegaskan bahwa perjanjian tersebut harus mencakup pengecualian Kyiv dari keanggotaan NATO dan status netral Ukraina.
"Kami akan menuntut agar jaminan keamanan yang mutlak menjadi bagian dari perjanjian ini," kata Grushko dalam wawancara tersebut.
Moskow juga menginginkan kontrol penuh atas seluruh wilayah Ukraina yang telah direbutnya, pembatasan jumlah tentara Ukraina, pencabutan sanksi Barat, serta penyelenggaraan pemilu presiden di Ukraina—sesuatu yang ditolak Kyiv selama darurat militer masih berlaku.
Putin berpendapat bahwa tindakannya di Ukraina bertujuan untuk melindungi keamanan nasional Rusia dari apa yang ia anggap sebagai Barat yang agresif dan bermusuhan, terutama ekspansi NATO ke arah timur.
Sebaliknya, Ukraina dan negara-negara Barat menilai bahwa Rusia sedang melakukan perang agresi tanpa alasan yang sah dan berusaha merebut wilayah secara paksa.
Baca Juga: 3 Tahun Perang Ukraina, Xi Jinping Tegaskan Kemitraan Tanpa Batas kepada Putin
Reaksi Internasional
Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, mengatakan pada Senin bahwa syarat-syarat yang diajukan Rusia untuk menyetujui gencatan senjata menunjukkan bahwa Moskow sebenarnya tidak benar-benar menginginkan perdamaian.
Perdana Menteri Inggris Keir Starmer menyatakan bahwa "sejumlah negara," termasuk Inggris dan Prancis, siap mengirim pasukan penjaga perdamaian ke Ukraina jika ada kesepakatan damai.
Para pemimpin pertahanan dari negara-negara terkait akan bertemu pekan ini untuk merumuskan rencana lebih lanjut.
Namun, Rusia menegaskan bahwa mereka menolak kehadiran pasukan penjaga perdamaian sebelum perang berakhir.
"Jika mereka hadir di sana, itu berarti mereka dikerahkan di zona konflik dengan segala konsekuensi bagi kontingen tersebut sebagai pihak dalam konflik," kata Grushko.
"Kita bisa berbicara tentang pengamat tak bersenjata atau misi sipil yang akan memantau implementasi perjanjian tertentu atau mekanisme jaminan. Namun, hingga saat ini, semua ini hanya wacana kosong."