Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan bahwa ia akan berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin pada Selasa (18/3) pagi untuk membahas upaya mengakhiri perang di Ukraina.
Pembicaraan tersebut diperkirakan akan mencakup kemungkinan konsesi wilayah oleh Kyiv serta kendali atas Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Zaporizhzhia.
"Apa yang terjadi di Ukraina tidak baik, tetapi kami akan melihat apakah kami bisa mencapai kesepakatan damai, gencatan senjata, dan perdamaian. Saya pikir kami bisa melakukannya," kata Trump kepada wartawan di Washington pada Senin (17/3).
Baca Juga: Presiden Rusia Vladimir Putin Tetapkan Syarat Gencatan Senjata di Ukraina
Trump telah berusaha mendapatkan dukungan Putin atas proposal gencatan senjata selama 30 hari yang telah diterima Ukraina pekan lalu.
Sementara itu, kedua belah pihak terus melancarkan serangan udara hebat pada Senin, dengan Rusia semakin mendekati upaya mengusir pasukan Ukraina dari wilayah Kursk di barat Rusia yang telah dikuasai selama beberapa bulan terakhir.
Trump menyebut bahwa tentara Ukraina di wilayah Kursk "dalam kesulitan besar" karena terkepung oleh pasukan Rusia.
Ia juga menyatakan bahwa pembekuan bantuan militer AS untuk Ukraina pada awal bulan ini serta pertemuannya yang kontroversial dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy mungkin telah membantu meyakinkan Kyiv.
"Banyak orang terbunuh di sana, dan kami harus membuat Ukraina melakukan hal yang benar," ujarnya.
"Namun, saya pikir mereka sedang melakukan hal yang benar sekarang."
Dalam pidato malamnya, Zelenskiy menuduh Putin sengaja memperpanjang perang dan menyatakan bahwa ketika pemimpin Rusia itu berbicara dengan Trump, ia sudah mengetahui tentang proposal gencatan senjata selama seminggu.
"Proposal ini seharusnya sudah bisa diterapkan sejak lama," kata Zelenskiy.
Baca Juga: Bagaimana Tanggapan Vladimir Putin Atas Gagasan Gencatan Senjata AS untuk Ukraina?
"Setiap hari dalam masa perang berarti nyawa manusia."
Saat ditanya tentang konsesi yang mungkin dipertimbangkan dalam negosiasi gencatan senjata, Trump menjawab: "Kami akan berbicara tentang tanah. Kami akan berbicara tentang pembangkit listrik... Kami sudah mulai membahasnya, membagi beberapa aset tertentu."
Meskipun Trump tidak memberikan rincian lebih lanjut, pernyataan tersebut tampaknya mengacu pada fasilitas Zaporizhzhia, pembangkit listrik tenaga nuklir terbesar di Eropa yang saat ini diduduki oleh Rusia.
Rusia dan Ukraina saling menuduh tindakan satu sama lain berisiko menyebabkan kecelakaan di fasilitas tersebut.
Juru bicara Gedung Putih Karoline Leavitt menyebut bahwa Trump dan Putin akan membahas "sebuah pembangkit listrik di perbatasan Rusia dan Ukraina."
Sementara itu, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov menolak berkomentar mengenai pernyataan Trump tentang wilayah dan pembangkit listrik.
Baca Juga: Ini Ancaman Trump kepada Rusia Jika Putin Tolak Perjanjian Damai
Optimisme Hati-hati dari Moskow
Pada Jumat lalu, Kremlin mengatakan bahwa Putin telah mengirim pesan kepada Trump mengenai rencana gencatan senjata melalui utusan AS, Steve Witkoff, yang mengadakan pembicaraan di Moskow.
Dalam pesan tersebut, Putin menyatakan "optimisme hati-hati" bahwa kesepakatan dapat dicapai untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung selama tiga tahun.
Namun, pada Minggu, Witkoff, Menteri Luar Negeri Marco Rubio, dan Penasihat Keamanan Nasional Trump, Mike Waltz, menegaskan bahwa masih ada tantangan yang harus diselesaikan sebelum Rusia menyetujui gencatan senjata, apalagi mencapai resolusi damai akhir.
Ketika ditanya dalam wawancara di ABC apakah AS akan menerima perjanjian damai di mana Rusia diperbolehkan mempertahankan wilayah Ukraina yang telah direbut, Waltz menjawab:
"Kita harus bertanya pada diri kita sendiri, apakah ini demi kepentingan nasional kita? Apakah ini realistis?... Apakah kita benar-benar akan mengusir setiap tentara Rusia dari setiap inci tanah Ukraina?"
Baca Juga: Putin Gempur Ukraina dengan Serangan Drone di Tengah Seruan Gencatan Senjata Trump
Jaminan Keamanan 'Mutlak' Rusia
Zelenskiy belum menanggapi secara terbuka pernyataan Waltz. Ia telah menyatakan bahwa ada peluang baik untuk mengakhiri perang setelah Ukraina menerima proposal gencatan senjata dari AS.
Namun, ia tetap menegaskan bahwa kedaulatan Ukraina tidak dapat dinegosiasikan dan bahwa Rusia harus mengembalikan semua wilayah yang telah direbutnya.
Rusia telah merebut Semenanjung Krimea pada tahun 2014 dan saat ini menguasai sebagian besar dari empat wilayah timur Ukraina setelah invasi yang dimulai pada 2022.
Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Alexander Grushko menyatakan bahwa Moskow akan menuntut jaminan keamanan yang "mutlak" dalam perjanjian damai apa pun.
Dalam wawancara dengan media Rusia Izvestia yang diterbitkan pada Senin, Grushko menegaskan bahwa perjanjian tersebut harus mencakup pengecualian Kyiv dari keanggotaan NATO dan status netral Ukraina.
"Kami akan menuntut agar jaminan keamanan yang mutlak menjadi bagian dari perjanjian ini," kata Grushko dalam wawancara tersebut.
Moskow juga menginginkan kontrol penuh atas seluruh wilayah Ukraina yang telah direbutnya, pembatasan jumlah tentara Ukraina, pencabutan sanksi Barat, serta penyelenggaraan pemilu presiden di Ukraina—sesuatu yang ditolak Kyiv selama darurat militer masih berlaku.
Putin berpendapat bahwa tindakannya di Ukraina bertujuan untuk melindungi keamanan nasional Rusia dari apa yang ia anggap sebagai Barat yang agresif dan bermusuhan, terutama ekspansi NATO ke arah timur.
Sebaliknya, Ukraina dan negara-negara Barat menilai bahwa Rusia sedang melakukan perang agresi tanpa alasan yang sah dan berusaha merebut wilayah secara paksa.
Baca Juga: 3 Tahun Perang Ukraina, Xi Jinping Tegaskan Kemitraan Tanpa Batas kepada Putin
Reaksi Internasional
Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, mengatakan pada Senin bahwa syarat-syarat yang diajukan Rusia untuk menyetujui gencatan senjata menunjukkan bahwa Moskow sebenarnya tidak benar-benar menginginkan perdamaian.
Perdana Menteri Inggris Keir Starmer menyatakan bahwa "sejumlah negara," termasuk Inggris dan Prancis, siap mengirim pasukan penjaga perdamaian ke Ukraina jika ada kesepakatan damai.
Para pemimpin pertahanan dari negara-negara terkait akan bertemu pekan ini untuk merumuskan rencana lebih lanjut.
Namun, Rusia menegaskan bahwa mereka menolak kehadiran pasukan penjaga perdamaian sebelum perang berakhir.
"Jika mereka hadir di sana, itu berarti mereka dikerahkan di zona konflik dengan segala konsekuensi bagi kontingen tersebut sebagai pihak dalam konflik," kata Grushko.
"Kita bisa berbicara tentang pengamat tak bersenjata atau misi sipil yang akan memantau implementasi perjanjian tertentu atau mekanisme jaminan. Namun, hingga saat ini, semua ini hanya wacana kosong."