Sumber: BBC | Editor: Noverius Laoli
Namun berbeda dengan negara lain yang memilih kompromi, China membalas dengan langkah-langkah balasan: menghentikan impor produk pertanian AS dan mengancam menahan pasokan mineral penting yang vital bagi industri teknologi dunia.
Meski begitu, pertemuan tersebut menghasilkan sinyal positif. Kedua pihak sepakat menurunkan ketegangan: AS mengurangi tarif, sementara China membuka kembali akses terhadap mineral penting, melanjutkan impor produk pertanian, serta meningkatkan pembelian minyak dan gas dari AS.
Meski belum menghasilkan terobosan besar, kesepakatan itu menunjukkan pengakuan bahwa situasi sebelumnya tidak bisa dipertahankan. Xi sendiri mengakui, “Adalah hal yang normal bagi dua ekonomi terbesar dunia untuk sesekali mengalami friksi.”
Baca Juga: Percakapan Bocor: Putin dan Xi Jinping Bahas Umur Manusia Bisa Capai 150 Tahun
Namun di balik pernyataan diplomatis itu, ketegangan jangka panjang tampak tak terelakkan.
China semakin percaya diri memperluas pengaruhnya secara global, sementara Trump berusaha menata ulang prioritas luar negeri AS dengan mengandalkan kekuatan ekonomi untuk menekan sekutu maupun pesaing.
Bagi negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan, strategi baru ini menghadirkan dilema. Mereka berusaha menjaga hubungan dengan AS sembari membuka ruang komunikasi dengan China, sebuah keseimbangan yang semakin sulit dipertahankan.
Baca Juga: Trump Pilih Diam di Hadapan Xi Jinping Soal Isu Taiwan, AS Mundur Teratur?
Dan ketika Trump meninggalkan Korea dengan penghormatan bak raja, Xi Jinping justru tiba di negara itu, menerima sambutan diplomatik serupa. Bedanya, Xi memilih hadir penuh dalam pertemuan para pemimpin APEC, forum yang justru dilewati Trump.
Trump mungkin pulang dengan membawa hasil yang ia inginkan.
Tapi, seperti lirik lagu You Can’t Always Get What You Want dari Rolling Stones yang dulu sering ia putar di kampanyenya, belum tentu Amerika mendapatkan apa yang sebenarnya dibutuhkan.


/2025/10/31/854176900.jpg) 
  
  
  
 











