Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - Militer Amerika Serikat (AS) melancarkan serangan baru pada Kamis (16/10/2025) terhadap kapal yang diduga terlibat dalam perdagangan narkoba di kawasan Karibia.
Berbeda dari operasi sebelumnya, kali ini terdapat korban selamat di antara awak kapal, menurut seorang pejabat AS yang berbicara kepada Reuters secara anonim.
Pejabat tersebut tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai jumlah korban atau kondisi mereka, hanya menyebut bahwa belum jelas apakah operasi tersebut memang dirancang untuk menyisakan korban hidup.
Baca Juga: Baht dan Peso Melemah Jumat (17/10) Pagi, Mata Uang Asia Lain Bergerak Tipis
Peristiwa ini menimbulkan sejumlah pertanyaan baru, termasuk apakah militer AS memberikan bantuan medis kepada para penyintas dan apakah mereka kini berada dalam tahanan militer AS, kemungkinan sebagai tahanan perang.
Pentagon, yang selama ini menyebut target operasinya sebagai narkoteroris, belum memberikan tanggapan resmi atas laporan tersebut.
Sebelumnya, serangkaian serangan militer AS terhadap kapal penyelundup narkoba di lepas pantai Venezuela dilaporkan telah menewaskan sedikitnya 27 orang.
Langkah itu menuai kritik dari kalangan ahli hukum dan politisi Partai Demokrat yang mempertanyakan kesesuaian operasi tersebut dengan hukum perang internasional.
Rekaman video yang dirilis pemerintahan Trump dari serangan-serangan sebelumnya memperlihatkan kapal sasaran hancur total, tanpa adanya laporan korban selamat.
Baca Juga: Dari Wall Street ke Asia: Gejolak Bank AS Picu Aksi Jual, Emas Jadi Raja Lagi
Pemerintahan Trump berpendapat bahwa AS tengah berperang dengan kelompok narkoteroris asal Venezuela, sehingga serangan militer tersebut dianggap sah secara hukum.
Pejabat Gedung Putih menilai tindakan mematikan diperlukan karena upaya penangkapan dan penyitaan kargo selama ini gagal menekan arus penyelundupan narkotika ke AS.
Operasi terbaru ini terjadi di tengah peningkatan kekuatan militer AS di Karibia, yang melibatkan kapal perusak berpeluru kendali, jet tempur F-35, kapal selam nuklir, dan sekitar 6.500 personel.
Langkah tersebut menandai eskalasi ketegangan antara Washington dan pemerintahan Presiden Venezuela Nicolas Maduro.
Sehari sebelumnya, Presiden Donald Trump mengonfirmasi bahwa ia telah memberi wewenang kepada CIA untuk melakukan operasi rahasia di wilayah Venezuela — memperkuat dugaan bahwa AS berupaya menggulingkan pemerintahan Maduro.
Baca Juga: Jack Dorsey Dorong Signal Adopsi Bitcoin, Kampanye Bitcoin for Signal Kian Menggema
Menanggapi hal itu, Duta Besar Venezuela untuk PBB Samuel Moncada mengirim surat kepada Dewan Keamanan PBB yang beranggotakan 15 negara, meminta lembaga tersebut menyatakan bahwa serangan AS di perairan Venezuela melanggar hukum internasional dan menyerukan dukungan terhadap kedaulatan Venezuela.
Kurang dari sepekan sebelumnya, Pentagon mengumumkan bahwa operasi kontra-narkotika di wilayah tersebut tidak lagi dipimpin oleh Komando Selatan (Southern Command) yang berbasis di Miami.
Sebagai gantinya, operasi kini berada di bawah Task Force khusus yang dipimpin II Marine Expeditionary Force, satuan yang berbasis di Camp Lejeune, North Carolina.
Langkah tersebut mengejutkan pengamat militer AS, sebab secara tradisional operasi semacam ini dipimpin langsung oleh komando tempur regional.
Pada hari yang sama, Menteri Pertahanan Pete Hegseth juga mengumumkan bahwa Laksamana Alvin Holsey, pemimpin Komando Selatan AS, akan mengundurkan diri akhir tahun ini, dua tahun lebih cepat dari jadwal.
Ketua Fraksi Demokrat di Komite Angkatan Bersenjata Senat, Senator Jack Reed, menyebut pengunduran diri itu sebagai tanda mengkhawatirkan di tengah meningkatnya risiko konfrontasi AS dengan Venezuela.
“Pengunduran diri Laksamana Holsey hanya memperkuat kekhawatiran saya bahwa pemerintahan ini mengabaikan pelajaran berharga dari kampanye militer AS sebelumnya dan saran dari para perwira paling berpengalaman,” ujar Reed dalam pernyataannya.