Sumber: Associate Press | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Kisahnya bermula pada 2018, ketika Presiden Donald Trump pertama kali memulai perang dagang melawan China.
Saat itu, Beijing merasa perlu menyiapkan perangkat hukum agar bisa melawan jika perang dagang kembali terjadi — dan sumber inspirasinya tak lain adalah Washington sendiri.
China lalu membuat Daftar Entitas Tak Terpercaya (Unreliable Entity List) pada 2020, yang mirip dengan entity list milik Departemen Perdagangan AS.
Daftar ini membatasi perusahaan asing tertentu untuk berbisnis dengan China.
Setahun kemudian, Beijing mengesahkan Undang-Undang Anti Sanksi Asing, yang memberi kewenangan bagi kementerian luar negeri China untuk menolak visa, membekukan aset, atau melarang bisnis bagi individu dan perusahaan asing yang dianggap merugikan kepentingan nasional — persis seperti yang dilakukan AS lewat Departemen Keuangan dan Departemen Luar Negeri.
Media pemerintah China saat itu menggambarkan kebijakan ini sebagai “jurus memukul balik dengan cara lawan sendiri.”
“Undang-undang ini mempelajari berbagai peraturan asing dan mempertimbangkan prinsip hukum internasional,” ujar pakar hukum Li Qingming dalam wawancara dengan kantor berita China News.
“Tujuannya agar pihak lain berpikir dua kali sebelum meningkatkan ketegangan,” lanjutnya.
Tonton: Trump Naikkan Tarif 100 Persen, China Gencet Kapal AS di Pelabuhan
Dalam beberapa tahun terakhir, China juga memperluas pengawasan ekspor dan peninjauan investasi asing — lagi-lagi meniru mekanisme ala Washington.
“China memang sering mengadaptasi model asing saat membangun sistem hukumnya,” jelas Jeremy Daum, peneliti senior di Yale Law School’s Paul Tsai China Center.
“Sekarang, ketika mereka ingin punya kemampuan membalas di bidang perdagangan dan sanksi, alat-alatnya terlihat sangat mirip dengan milik Amerika.”
Kedua negara kini sama-sama mengusung pandangan “keamanan nasional menyeluruh”, yang digunakan sebagai dasar pembenaran pembatasan ekonomi terhadap satu sama lain, tambahnya.