Reporter: Dharmesta | Editor: Catur Ari
Masa kecil Amar Bose Gopal tidaklah indah. Sebagai anak keturunan India di Amerika Serikat, dia banyak mendapat sentimen rasial. Tapi, segala perlakuan itu diterima Amar dengan sabar. Ia kemudian malah asyik dengan hobinya mengutak-atik alat elektronik. Di usia 13 tahun, Amar bisa memperbaiki semua peralatan elektronik terutama radio. Dengan keahlian itu, ia membuka usaha perbaikan radio. Puluhan tahun sesudahnya, ia menjadi raja audio merek Bose.
Amar Bose Gopal adalah mantan dosen Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang memiliki kekayaan US$ 1 miliar. Dengan hartanya itu, tahun ini Majalah Forbes kembali menempatkannya dalam daftar 500 orang terkaya di dunia urutan ke 359. Dua tahun berturut-turut, 2009-2010, dia terdepak dari daftar itu.
Amar lahir di Philadelphia, Amerika Serikat (AS) pada 1929. Ia adalah anak Noni Gopal Bose, pejuang kemerdekaan India yang melarikan diri dari kejaran kolonial Inggris. Waktu itu, Bose datang ke AS dengan hanya berbekal uang US$ 5. Ibunya adalah orang kulit putih yang bekerja sebagai guru.
Keluarga Amar kental dengan kuliner, budaya, dan filosofi India. Walau telah lari ke Negeri Paman Sam, sang ayah masih aktif dalam gerakan bawah tanah Negeri Gangga. Bose banyak memberikan kuliah dan ceramah di AS tentang tindakan Inggris di India yang tidak kalah dengan perlakuan tentara Nazi, Jerman.
Makanya, tak jarang, rumah kecil Keluarga Amar yang terletak di pinggiran Philadelphia menjadi tempat tinggal bagi orang India perantauan selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan.
Sebagai keturunan India, Amar banyak mendapat perlakuan rasis. Ia kerap tidak memperoleh pelayanan jika makan di restoran. "Ayah, ibu, dan saya kadang-kadang mencobanya, kami duduk tapi makanan tidak pernah datang," kenangnya.
Mendapati perlakuan itu, orang tua Amar sering mendatangi manajer restoran dan berpura-pura menjadi seorang Afro-Amerika. Amar bercerita, ayahnya akan berkata ke sang manajer, "Kami mampu mendapat uang dari memasak makanan, mampu menjadi pelayan, dan mampu untuk mengorbankan nyawa dalam perang. Jadi bisa Anda jelaskan kenapa kami tidak layak mendapat pelayanan?".
Dengan perkataan sang ayah itu, semua orang dalam restoran akan terdiam dan mendengarkan. Setelah itu, Amar dan kedua orang tuanya akan pergi.
Selain itu, rasisme juga dialami Amar setiap pergi ke sekolah. Dia harus menegakkan kepala dan menahan emosi saat anak-anak kulit putih mencemooh dengan sebutan "nigger". Namun, karena ayahnya melarang untuk berkelahi, Amar mengendalikan emosinya. Bahkan, saat ini, Amar sangat bersyukur karena pengalaman itu telah membuat dia mampu menghargai perasaan orang yang tersingkirkan dan diremehkan.
Untuk melampiaskan emosinya, Amar bermain biola. Permainan biola ia pelajari mulai umur tujuh sampai 14 tahun yang membawanya ke dunia musik akustik.
Tak hanya menyukai musik, Amar juga gemar dengan dunia elektronik. Ia mulai kenal dengan dunia ini sejak umur 12 tahun. Saat itu, dia mempelajari radio transmiter milik temannya. Pada usia 13 tahun, Amar sudah bisa memperbaiki semua peralatan elektronik. "Ini menakjubkan, saya bisa melakukannya begitu saja," ujar Amar. Dengan keahlian ini, ia lalu membuka usaha reparasi radio.
Saat Perang Dunia II berkecamuk, usaha ekspor impor buah kelapa dan karpet ayahnya mengalami kesulitan finansial. Hal itu membuat usaha perbaikan radio menjadi sumber penghasilan tambahan. Dunia elektronik semakin menjadi hidup Amar ketika dia masuk kuliah di Jurusan Teknik Elektro MIT.
Kini, Amar menjalankan usahanya di kantor yang terletak di atas bukit yang lebih dikenal dengan nama The Mountain di Framingham, Massachusetts. Ia mengawasi penelitian, perakitan, dan produksi perlengkapan audio kualitas tinggi dengan merek Bose. Selain memproduksi speaker, Bose juga mengerjakan instalasi audio untuk auditorium dan pertunjukan konser tingkat dunia.
(Bersambung)