Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON/BAGHDAD. Amerika Serikat (AS) bersiap untuk melakukan evakuasi sebagian personel dari kedutaannya di Irak dan mengizinkan anggota keluarga militer untuk meninggalkan beberapa lokasi di Timur Tengah, menyusul meningkatnya risiko keamanan di kawasan, menurut sumber dari AS dan Irak, Rabu (11/6).
Empat sumber dari AS dan dua dari Irak tidak merinci secara pasti ancaman keamanan apa yang mendorong keputusan tersebut.
Kabar tentang rencana evakuasi ini turut mendorong lonjakan harga minyak lebih dari 4%.
Baca Juga: Harga Minyak Dunia Ditutup Naik 4% Rabu (11/6), Brent ke US$69,77 & WTI ke US$68,15
"Departemen Luar Negeri secara rutin meninjau keberadaan personel Amerika di luar negeri, dan keputusan ini diambil setelah tinjauan terbaru," ujar juru bicara Gedung Putih, Anna Kelly, kepada Reuters, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.
Seorang pejabat Gedung Putih mengatakan bahwa Presiden AS Donald Trump mengetahui langkah tersebut.
Seorang pejabat AS mengatakan bahwa Departemen Luar Negeri telah mengizinkan keberangkatan secara sukarela dari Bahrain dan Kuwait.
Namun, Kedutaan AS di Kuwait menyatakan dalam pernyataan resmi bahwa "tidak ada perubahan dalam jumlah staf dan tetap beroperasi penuh."
Langkah evakuasi ini dilakukan di tengah ketegangan tinggi di kawasan yang sudah bergolak akibat perang Gaza yang telah berlangsung 18 bulan dan memicu kekhawatiran akan konflik yang lebih luas antara AS dan Israel melawan Iran serta sekutunya.
Baca Juga: Pemimpin Al-Qaeda Serukan Pembunuhan Donald Trump dan Pejabat Tinggi Gedung Putih
Trump berulang kali mengancam akan menyerang Iran jika negosiasi soal program nuklirnya gagal.
Dalam wawancara yang dirilis Rabu, ia menyebut semakin pesimis bahwa Teheran akan setuju menghentikan pengayaan uranium, salah satu syarat utama dari AS.
Menteri Pertahanan Iran, Aziz Nasirzadeh, juga memperingatkan pada hari yang sama bahwa jika Iran diserang, pihaknya akan membalas dengan menyerang pangkalan-pangkalan AS di kawasan.
AS memiliki kehadiran militer di berbagai negara penghasil minyak utama, termasuk Irak, Kuwait, Qatar, Bahrain, dan Uni Emirat Arab.
Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth telah mengizinkan anggota keluarga militer untuk secara sukarela meninggalkan lokasi di Timur Tengah, menurut seorang pejabat AS.
Sumber lain menambahkan bahwa kebijakan ini terutama berlaku bagi keluarga militer yang berada di Bahrain, tempat sebagian besar dari mereka ditempatkan.
Baca Juga: Larangan Perjalanan ke AS Dinilai Iran Sebagai Bentuk Kebencian terhadap Muslim
“Departemen Luar Negeri bersiap mengeluarkan perintah evakuasi dari Kedutaan Besar AS di Baghdad. Rencananya melalui jalur komersial, namun militer AS siap siaga jika diperlukan,” ujar seorang pejabat AS lainnya.
Sementara itu, kantor berita resmi Irak mengutip sumber pemerintah yang menyatakan bahwa Baghdad belum mencatat adanya indikasi keamanan yang memerlukan evakuasi.
Seorang pejabat AS lain mengatakan tidak ada perubahan operasi di Pangkalan Udara Al Udeid di Qatar, pangkalan militer terbesar AS di Timur Tengah, dan tidak ada perintah evakuasi untuk staf atau keluarga yang bekerja di Kedutaan AS di Qatar, yang disebut tetap beroperasi normal.
Ketegangan Meningkat
Harga minyak berjangka naik sekitar US$3 setelah muncul laporan evakuasi di Baghdad, dengan harga Brent menyentuh US$69,18 per barel.
Sebelumnya pada Rabu, badan maritim Inggris memperingatkan bahwa ketegangan yang meningkat di Timur Tengah dapat memicu aktivitas militer yang berdampak pada pelayaran di jalur-jalur perairan strategis.
Kapal-kapal disarankan berhati-hati saat melintasi Teluk, Teluk Oman, dan Selat Hormuz, kawasan yang berbatasan langsung dengan Iran.
Irak, yang menjadi mitra langka bagi AS dan juga Iran, dua musuh bebuyutan kawasan menampung sekitar 2.500 tentara AS.
Baca Juga: AS Kenakan Sanksi Baru Jaringan 'Shadow Banking' Iran yang Cuci Miliaran Dolar
Namun, kelompok bersenjata yang bersekutu dengan Iran juga terlibat dalam pasukan keamanan Irak.
Ketegangan di dalam Irak meningkat sejak perang di Gaza pecah pada Oktober 2023. Kelompok-kelompok bersenjata pro-Iran di Irak berulang kali menyerang pasukan AS, meskipun frekuensi serangan menurun sejak akhir tahun lalu.
Israel dan Iran juga dua kali saling menembakkan rudal tahun lalu yang merupakan konfrontasi langsung pertama antara dua musuh utama kawasan itu dengan rudal dan drone tempur melintasi wilayah udara Irak.
Sekutu utama AS di kawasan, Israel, juga telah melancarkan serangan terhadap target-target yang terkait dengan Iran, termasuk kelompok bersenjata Irak yang beroperasi di dalam negeri maupun di Suriah.
Dalam beberapa bulan terakhir, AS telah memperkuat kehadiran militernya di Timur Tengah, termasuk pengerahan pesawat pembom B-2 (yang kini sudah ditarik) dan perpanjangan masa tugas kapal induk kedua (yang kini juga telah meninggalkan kawasan).
Putaran terbaru pembicaraan nuklir antara Iran dan AS dijadwalkan berlangsung dalam beberapa hari mendatang. Iran diperkirakan akan mengajukan kontra-proposal setelah menolak tawaran dari Washington.
Seorang pejabat senior Iran mengatakan kepada Reuters bahwa ancaman militer selalu menjadi bagian dari taktik negosiasi AS terhadap Teheran.
“Setiap aksi militer terhadap Iran, baik oleh AS maupun Israel, akan memiliki konsekuensi serius,” ujarnya memperingatkan.
Baca Juga: Turki Jadi Pemilik Kekuatan Militer Terbesar di Timur Tengah, Kalahkan Israel & Iran
Misi Iran untuk PBB juga menulis di X (dulu Twitter) pada Rabu: “Ancaman dengan ‘kekuatan besar’ tidak akan mengubah fakta: Iran tidak mencari senjata nuklir dan militerisme AS hanya memicu ketidakstabilan.”
Pernyataan tersebut tampaknya merespons pernyataan Jenderal Angkatan Darat AS Michael "Erik" Kurilla, Kepala Komando Pusat AS (CENTCOM), yang menyatakan bahwa ia telah memberikan Presiden AS “berbagai opsi” untuk mencegah Iran memiliki senjata nuklir.
Kurilla menunda jadwal kesaksiannya di hadapan anggota parlemen AS yang seharusnya berlangsung Kamis ini karena ketegangan regional, menurut dua pejabat AS lainnya.