Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - Pemerintahan Trump kembali memperketat proses pemeriksaan bagi pemohon visa H-1B, dengan kebijakan baru yang mengharuskan pejabat konsuler AS menelusuri riwayat pekerjaan kandidat termasuk aktivitas terkait moderasi konten dan keamanan online.
Tunjuannya untuk menilai potensi keterlibatan dalam “sensor” terhadap kebebasan berpendapat.
Menurut memo internal Departemen Luar Negeri tertanggal 2 Desember, konsuler diminta meninjau resume maupun profil LinkedIn para pemohon H-1B beserta anggota keluarga yang ikut mengajukan visa.
Baca Juga: Bursa Asia Mixed Kamis (4/12) Pagi, Sentimen Hati-Hati Jelang Keputusan The Fed
Pemeriksaan akan mencari pekerjaan di bidang misinformation, disinformation, content moderation, fact-checking, compliance, hingga online safety.
Jika ditemukan bukti keterlibatan dalam “sensor” atau upaya membatasi ekspresi yang dilindungi di AS, pemohon dapat dinyatakan tidak memenuhi syarat berdasarkan aturan dalam Immigration and Nationality Act.
Langkah ini belum pernah diungkap sebelumnya. Departemen Luar Negeri tidak memberikan komentar saat dimintai tanggapan.
Meski berlaku untuk seluruh jenis visa, kebijakan tersebut secara khusus menargetkan pemohon H-1B karena tingginya keterlibatan mereka di sektor teknologi dan media sosial—industri yang menurut pemerintah kerap “menekan” ekspresi politik tertentu.
Baca Juga: Trump Gelar Razia Imigrasi di New Orleans, Warga Panik dan Aktivitas Kota Melambat
Kebijakan berlaku bagi pemohon baru maupun perpanjangan.
Pemerintahan Trump menjadikan isu kebebasan berpendapat sebagai bagian dari agenda diplomasi, termasuk kritik terhadap negara Eropa yang dianggap membatasi suara kelompok kanan.
Pada Mei lalu, Senator Marco Rubio bahkan mengancam larangan visa bagi individu asing yang terlibat dalam upaya pembatasan ekspresi warga AS.
Pengetatan ini menambah rangkaian kebijakan sebelumnya, mulai dari pemeriksaan media sosial mahasiswa asing hingga kenaikan biaya visa H-1B pada September.
Trump dan Partai Republik berulang kali menuduh pemerintahan Joe Biden mendorong “sensor” di platform digital, terutama terkait informasi vaksin dan pemilu.













