Sumber: Al Jazeera | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - CHENGDU. Ketika virus corona yang mematikan menyebar ke setiap benua kecuali Antartika dan jumlah kematian suxah melebihi 3.000 orang, para ilmuwan dan dokter di seluruh dunia bergegas mencari cara untuk menyembuhkan penyakit ini sebelum menginfeksi lebih banyak orang. Dan ini menjadi tantangan besar bagi kesehatan global.
Namun, kemajuan yang dibuat oleh petugas kesehatan China dalam mengobati penyakit ini menawarkan harapan: yakni lebih dari separuh pasien di Cina tempat wabah pertama kali muncul akhir tahun lalu dilaporkan telah dihentikan pengobatannya alias sudah pulih, mengurangi jumlah kasus yang tersisa menjadi kurang dari 35.000 kasus.
Baca Juga: Menkeu AS dan Gubernur The Fed pimpin negara G7 beraksi mengatasi dampak virus corona
China sendiri telah menggembar-gemborkan tingkat pemulihan dan menawarkan untuk memberikan bantuan medis ke negara-negara lain yang membutuhkan. Menteri Luar Negeri China Wang Yi menelepon rekan-rekannya di Italia dan Iran yang tengah dilanda wabah corona untuk menawarkan bantuan.
Sebagian besar dari mereka yang telah pulih hanya menderita gejala penyakit ringan. Hanya saja tingkat kematian di antara orang tua dan mereka yang infeksinya berlanjut ke tahap kritis tetap tinggi.
"Itu tetap merupakan tantangan yang signifikan bagi pekerja medis yang merawat pasien COVID-19," kata seorang dokter yang bekerja di salah satu rumah sakit terkemuka di Wuhan yang meminta anonimitas karena manajemen rumah sakit telah melarang petugas medisnya berbicara dengan media seperti dikutip Al Jazeera.
Tingkat kematian keseluruhan di antara yang terinfeksi corona sekitar 2,3% di Cina. Namun, menurut sebuah penelitian pada sampel awal yang diterbitkan The Lancet, sebuah jurnal medis yang berbasis di Inggris pekan lalu, penyakit ini menewaskan 61,5% orang yang sakit kritis.
"Prosedur normal untuk mengobati pneumonia, seperti menggunakan ventilator, menempatkan pasien pada pengobatan antivirus dan antibakteri dan menggunakan steroid, telah terbukti relatif tidak efektif dalam mengobati pasien yang mencapai tahap terakhir penyakit," kata dokter di Wuhan itu kepada Al Jazeera.
"Pasokan yang tidak memuaskan dari mesin ECMO dan obat-obatan yang tidak efektif berkontribusi pada tingkat kematian yang tinggi," lanjut dokter, merujuk pada mesin yang memberikan dukungan jantung dan pernapasan kepada pasien yang jantung dan paru-parunya gagal.
Baca Juga: Makin parah! Ada 600 kasus virus corona baru di Korsel, tiga meninggal dunia
Uji klinis obat
Kekhawatiran seperti itu telah digaungkan oleh Komisi Kesehatan Nasional China. Para pejabat telah menekankan pentingnya mengurangi tingkat kematian di antara mereka yang terkena dampak lebih parah, biasanya orang-orang yang lebih tua atau yang memiliki masalah kesehatan yang ada seperti penyakit jantung, diabetes dan tekanan darah tinggi.
"Salah satu hal utama yang kami coba lakukan saat ini adalah mengurangi jumlah pasien yang kondisinya berkembang ke tahap sakit kritis dan meningkatkan tingkat kelangsungan hidup mereka yang telah mencapai tahap itu," kata dokter. "Untuk melakukan ini, kita perlu memahami obat mana yang akan membantu."
Baca Juga: Kian ganas, virus corona telah menjangkiti 64 negara, ini daftar lengkapnya
Sejauh ini, 293 uji klinis pada berbagai obat yang ada kemampuan untuk melawan virus corona baru, menurut data terbaru Clinical Trial Registry China.
"Terus terang, agak konyol bahwa begitu banyak uji klinis terus berlanjut, terutama mengingat fakta bahwa obat yang digunakan dalam beberapa uji coba praktis tidak memiliki kemungkinan efektif dalam mengobati penyakit ini," kata seorang dokter di sebuah lembaga penelitian terkemuka di Beijing yang meminta anonimitas kepada Al Jazeera.
Akibatnya, ini menyisakan lebih sedikit ruang percobaan yang benar-benar memiliki kesempatan untuk merawat pasien secara efektif dan secara tidak langsung memperlambat proses menemukan penyembuhan yang sebenarnya.
Meskipun saat ini tidak ada obat yang memungkinkan para ilmuwan untuk secara meyakinkan menentukan kemanjurannya melawan penyakit, di antara 293 obat atau kombinasi obat yang diuji, ada yang menonjol yakni Remdesivir. Obat antivirus ini diproduksi oleh perusahaan farmasi Gilead yang berpusat di Amerika Serikat.
“Hanya ada satu obat saat ini yang kami pikir mungkin memiliki khasiat nyata dan itu adalah Remdesivir,” kata Asisten Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Bruce Aylward mengatakan pada konferensi pers di Beijing setelah mengunjungi pusat penyebaran wabah di Wuhan.
Obat ini memulai debutnya dalam perang melawan COVID-19 pada awal bulan lalu ketika sebuah makalah yang melaporkan bahwa Remdesivir digunakan dalam pengobatan kasus pertama yang habis di AS.
Baca Juga: Dua WNI positif corona, apakah ditanggung BPJS Kesehatan?
Obat lain
Selain Remdesivir, dokter di China juga memasukkan beberapa obat lain ke dalam uji klinis, termasuk kloroquin fosfat, obat anti-malaria, setelah menemukan "kemanjuran yang jelas" dalam pengobatan COVID-19.
Sebelumnya, obat anti-HIV, seperti Lopinavir atau Arbidor, juga dimasukkan dalam diagnosis dan rencana pengobatan China.
Belum ada obat-obatan ini yang terbukti dapat diterapkan secara universal untuk setiap pasien yang berjuang melawan virus corona baru.
Baca Juga: Virus corona mulai menyebar ke seluruh dunia, ini yang dilakukan Xi Jinping
Masalah ini juga meluas ke plasma diekstraksi dari darah yang disumbangkan dari mereka yang telah pulih. Awal bulan ini, dokter mengonfirmasi penggunaan plasma telah digunakan dalam memerangi penyakit, tetapi para ahli tetap berhati-hati.
"Setiap pilihan obat atau suplemen hanya merupakan bagian dari keseluruhan rencana perawatan, sehingga gagasan menyuntikkan plasma kepada pasien yang memberikan hasil segera hanya dapat dilihat dalam film," kata Dr Zhang Wenhong, pemimpin tim medis yang dikirim dari Shanghai ke Wuhan untuk membantu mengatasi wabah.
"Hasilnya terbatas, dan penggunaan plasma mungkin akan mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk mengobati penyakit dari lima menjadi 10 hari menjadi tiga hingga lima hari."
Lainnya juga berhati-hati dalam perawatan, lebih suka menunggu sampai hasil uji coba diketahui.
"Tidak jelas seberapa efektif obat ini akan terjadi dan apakah kita memerlukan beberapa obat baru untuk secara efektif mengekang perkembangan penyakit, sehingga hanya uji klinis yang dapat menentukan," kata Dr David Ho, seorang profesor Universitas Columbia yang memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembangan obat anti-HIV / AIDS.
Selain memanfaatkan obat-obatan yang ada, pengembangan vaksin juga menjadi sorotan sejak sekelompok ilmuwan di Shanghai pertama kali merilis genom virus.
Baca Juga: 6 orang tewas akibat virus corona di Seattle AS, diramal bakal ada banyak kasus lagi
Menemukan vaksin
Meskipun ada upaya bersama dari seluruh dunia, para ahli percaya bahwa dibutuhkan setidaknya satu tahun untuk setiap vaksin tersedia untuk masyarakat umum.
Moderna, sebuah perusahaan biotek berbasis di AS, merilis batch pertama vaksin virus corona untuk digunakan manusia pada 24 Februari 2020.
Dalam sebuah pernyataan, vaksi tersebut telah dikirim ke National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID) untuk digunakan dalam studi fase pertama di AS.
Baca Juga: Timbun masker dan hand sanitizer, pedagang bisa dipenjara 5 tahun dan denda Rp 50 M
Uji klinis pertama akan dilakukan di pusat penelitian di Seattle di antara 45 sukarelawan dan diperkirakan akan berjalan 13 bulan dengan tujuan utama adalah untuk mendeteksi apakah vaksin akan memicu respons sistem kekebalan dan apakah itu aman.
Setelah fase pertama, uji klinis untuk benar-benar menguji kemampuan vaksin untuk melawan virus corona baru akan terjadi.
"Percobaan efikasi paling awal akan memakan waktu tambahan enam bulan hingga delapan bulan, jadi meskipun ini adalah yang tercepat yang kami lakukan untuk mengubah urutan virus menjadi percobaan, itu masih tidak akan berlaku untuk epidemi saat ini kecuali jika ini berlanjut untuk yang lain satu atau setengah tahun," kata Anthony Fauci, Direktur NIAID pada konferensi pers yang diadakan Presiden AS Donald Trump pekan lalu.
Karena proses panjang pengembangan vaksin dari awal, para peneliti khawatir proses pengembangan vaksi akan terhenti jika wabah corona mulai reda, seperti yang terjadi dengan kasus SARS beberapa tahun lalu.
"Kami tidak pernah memiliki kesempatan untuk menguji vaksin SARS karena tidak perlu melanjutkan pengembangan pada saat itu," kata Dr Zhong Nanshan, seorang ahli penyakit paru-paru terkemuka di China.
Namun, kata dia, sangat penting untuk melanjutkan upaya pengembangan vaksin dalam kasus ini karena sifat penyebaran virus yang cepat dan ketidakpastian berikutnya tentang berapa lama epidemi ini akan berlangsung.
Baca Juga: Awal kasus positif corona di Indonesia terungkap gara-gara telepon dari WN Jepang