Reporter: Galvan Yudistira | Editor: Tri Adi
Cheng Wei terus mengamati gerak-gerik sang kompetitor, Uber Technologies. Sepak terjang Uber menjadi pertimbangan utama Cheng untuk mewujudkan rencana penawaran saham perdana (IPO) Didi Chuxing di bursa saham Amerika Serikat. Cheng memilih berlabuh di AS karena ingin menarik perhatian investor global. Sembari membidani IPO, Cheng juga melancarkan berbagai strategi bisnis untuk menenangkan hati para investor. Salah satunya, memangkas subsidi.
Pertarungan antara Didi Chuxing dan Uber Technologies belum usai. Sebagai pendiri sekaligus CEO Didi Chuxing, Cheng Wei masih memiliki sederet mimpi untuk membesarkan nama Didi di panggung bisnis global.
Secara valuasi, perusahaan transportasi online asuhan Cheng ini sudah menembus angka US$ 28 miliar. Didi merupakan salah satu startup dengan pertumbuhan valuasi tertinggi di dunia.
Maklum, Didi didukung investor kakap seperti Alibaba, Tencent, Apple dan China Life Insurance. Kendati sudah memiliki valuasi tambun, Cheng ingin meraih lebih banyak dana segar.
Cheng akan mendulang dana jumbo lewat penawaran saham perdana (IPO). Cheng ingin melabuhkan Didi di bursa saham Amerika Serikat (AS). Pemilihan bursa AS bukan tanpa alasan.
Lewat bursa AS, Cheng ingin nama Didi mengglobal, laiknya Uber. Kendati masih samar-samar, spekulasi tentang rencana IPO Didi kian panas.
Sumber Bloomberg menyebutkan, Didi bakal menggelar IPO pada 2017 mendatang. Namun, menurut sumber Reuters, rencana IPO kemungkinan baru akan terlaksana pada 2018.
Yang jelas, perhelatan IPO Didi tidak akan terjadi pada tahun ini. Menurut Jurubicara Didi, perseroan masih mematangkan rencana IPO. Yang pasti, keputusan Didi tergantung pada pergerakan rival utama, Uber.
Belakangan, Uber juga sempat dikabarkan berencana melantai di bursa saham. Sepak terjang Uber di pasar China juga menjadi patokan Cheng untuk memutuskan waktu yang tepat terkait IPO Didi.
Sembari mematangkan rencana IPO, Cheng fokus membenahi sejumlah pekerjaan rumah. Yang paling krusial: memastikan investor mendapatkan return yang diinginkan.
Mengutip Financial Times, beberapa investor sudah mendesak Cheng untuk mengurangi subsidi. Tujuannya, mempercantik laporan keuangan Didi. Seperti diketahui, untuk mendongkrak pangsa pasar, Didi memberikan subsidi ongkos kepada pengemudi dan konsumen saat memesan taksi ataupun kendaraan pribadi.
Sejatinya, untuk menenangkan hati investor, Cheng telah menaikkan tarif transportasi Didi sebesar sepertiga dari sebelumnya. Mengutip pernyataan resmi Didi, kenaikan harga ini bervariasi antara kota yang satu dengan kota lain.
Tecatat beberapa kota yang menjadi sasaran kenaikan harga adalah Chengdu, Guangzhou dan Hefei. Kenaikan harga ini ternyata tidak hanya dilakukan oleh Didi. Uber China melakukan hal serupa.
Namun, Uber China mengklaim tidak menaikkan harga lebih tinggi ketimbang Didi. Kenaikan tarif transportasi online berpotensi terus berlanjut. Pasalnya, Uber dan Didi belum berhasil mencatatkan laba positif sampai Juni 2016.
Cheng menyebutkan, Didi telah menghabiskan dana sekitar US$ 4 miliar untuk membiayai ekspansi di pasar China. Sebagian besar dana jumbo itu dialokasikan sebagai subsidi tarif.
Pekerjaan rumah lain yang harus dikerjakan Cheng adalah meyakinkan pemerintah daerah untuk mengeluarkan peraturan yang mendukung bisnis pemesanan transportasi online. Wajar saja jika Didi berusaha mati-matian meraih dukungan pemerintah, sebab praktik transportasi online kerap menuai protes, khususnya perusahaan taksi konvensional.
Selain itu, Cheng memastikan diri untuk memperbaiki standar keselamatan dan keamanan penumpang. Pada Juni kemarin Didi menambahkan beberapa fitur keselamatan.
Sebagai contoh, menyediakan tombol SOS di aplikasi pemesanan. Tombol SOS ini berfungsi sebagai indikator kondisi keselamatan pengemudi dan penumpang saat berkendaraan.
(Selesai)