Sumber: Cointelegraph | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga Bitcoin (BTC) turun hingga US$83.500 pada 26 Februari 2025, menandai titik terendahnya sejak November 2024. Penurunan ini mencerminkan kehilangan nilai sebesar US$12.820 dalam tiga hari, yang menyebabkan lebih dari US$1 miliar posisi long leverage terlikuidasi, berdasarkan data dari CoinGlass.
Para analis mengaitkan penurunan tajam ini dengan meningkatnya kekhawatiran akan resesi ekonomi global, sementara tekanan dari pasar derivatif serta penurunan laba perusahaan turut memperburuk sentimen investor. Dengan Bitcoin gagal menembus kembali angka US$90.000, investor semakin berhati-hati dalam menghadapi ketidakpastian pasar.
Faktor Pemicu: Kebijakan Tarif Trump dan Pergeseran Modal ke Treasury AS
Penjualan besar-besaran Bitcoin terjadi seiring dengan kebijakan Presiden AS Donald Trump, yang mendorong pengenaan tarif impor terhadap Kanada dan Meksiko. Kebijakan ini mendorong investor untuk beralih ke aset yang lebih aman, seperti obligasi Treasury AS jangka panjang.
Baca Juga: Februari Tak Lagi Bersinar? Bitcoin Jatuh, Pasar Kripto Tertekan
Bahkan emas, yang secara historis dianggap sebagai aset lindung nilai, mengalami penurunan 2,2% dalam dua hari terakhir, jatuh dari level tertinggi sepanjang masa US$2.956 pada 24 Februari. Hal ini mencerminkan meningkatnya kegelisahan pasar global, dengan investor lebih memilih aset-aset berbasis pendapatan tetap daripada aset berisiko tinggi seperti Bitcoin.
Bitcoin Tidak Punya Fundamental Seperti Saham Teknologi
Berbeda dengan perusahaan teknologi raksasa yang memiliki model bisnis solid dan dapat mengakuisisi pesaing lebih kecil saat pasar lesu, Bitcoin tidak menawarkan dividen atau cara langsung untuk mendapat keuntungan di tengah krisis ekonomi.
Sebagai perbandingan, indeks S&P 500 lebih menarik bagi investor yang ingin melakukan lindung nilai daripada bertaruh pada aset spekulatif.
Analis John Butters dari FactSet memperkirakan pertumbuhan laba tahunan S&P 500 mencapai 16,9% pada kuartal keempat 2024, yang semakin memperkuat daya tarik saham dibandingkan Bitcoin.
MicroStrategy Dituding Sebagai Pemicu Lonjakan Bitcoin ke US$100.000
Beberapa analis menilai bahwa kenaikan Bitcoin ke US$100.000 sebelumnya lebih banyak disebabkan oleh aksi agresif MicroStrategy (kini dikenal sebagai Strategy) dalam membeli Bitcoin. Namun, strategi perusahaan ini kini diragukan, terutama setelah harga sahamnya anjlok 19,4% dalam tujuh hari terakhir.
Baca Juga: Bitcoin Longsor di Bawah US$90.000! Bahaya Buy the Dip, Tren Bearish Masih Mengintai
Investor skeptis apakah Strategy dapat terus mengumpulkan dana, terutama mengingat rencananya untuk meningkatkan modal sebesar US$42 miliar dalam tiga tahun ke depan. Ketidakpastian ini semakin menambah keraguan terhadap kemampuan Bitcoin untuk mempertahankan nilainya di atas US$90.000 tanpa dukungan institusional yang kuat.
Prospek Bitcoin Bergantung pada Sinyal Ekonomi Positif
Untuk bisa kembali ke US$95.000, Bitcoin membutuhkan dorongan dari sinyal ekonomi yang lebih optimistis. Namun, kekhawatiran terhadap potensi bubble AI dan konflik tarif global justru memperburuk suasana pasar.
Investor saat ini menunggu laporan pendapatan Nvidia, yang akan dirilis setelah penutupan pasar pada 26 Februari. Jika laporan tersebut menunjukkan dampak negatif dari pembatasan ekspor chip ke China dan ketidakstabilan pasar AI, risiko lebih lanjut bisa menyeret Bitcoin ke level lebih rendah.
Tanda-tanda meningkatnya permintaan aset pendapatan tetap semakin jelas, dengan imbal hasil Treasury AS 5 tahun mencapai level terendah sejak Desember 2024. Selain itu, dana yang keluar dari ETF Bitcoin spot melebihi US$1,1 miliar pada 24 Februari, menurut data Farside Investors.
Hal ini menunjukkan bahwa ekspektasi investor terhadap Bitcoin sebagai aset pelindung terhadap ketidakpastian ekonomi mulai melemah.
Baca Juga: Robert Kiyosaki: Jika Bitcoin Jatuh, Saya akan Serok Sebanyak Mungkin!
Ekspirasi Opsi Bitcoin Senilai US$6,9 Miliar Bisa Tekan Harga Lebih Rendah
Pasar derivatif juga menjadi faktor kunci yang menekan harga Bitcoin. Pada 28 Februari, opsi Bitcoin senilai US$6,9 miliar akan kedaluwarsa, yang semakin memperkuat prediksi bahwa harga Bitcoin akan tetap berada di bawah US$88.000.
Saat ini, minat terbuka pada opsi put (jual) mencapai US$530 juta lebih rendah dibandingkan call (beli). Namun, dari US$3,7 miliar opsi call yang ada, hanya US$60 juta yang memiliki strike price di US$88.000 atau lebih rendah.
Dengan kata lain, mayoritas trader derivatif tidak memiliki posisi yang menguntungkan di bawah harga tersebut. Hal ini memberi keunggulan bagi para bearish untuk mempertahankan Bitcoin di bawah US$88.000 sebelum masa berlaku opsi habis pada pukul 08:00 UTC.
Kondisi ini membuat peluang bagi Bitcoin untuk kembali ke US$95.000 dalam waktu dekat menjadi sangat kecil, karena momentum pasar masih berpihak pada penjual.