Sumber: Cointelegraph | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga Bitcoin (BTC) anjlok tajam pada Jumat (10/10), turun hingga US$16.700 atau sekitar 13,7% dalam waktu kurang dari delapan jam. Penurunan cepat ini menyeret harga ke level terendah US$105.000, sekaligus menghapus sekitar 13% dari total open interest kontrak berjangka Bitcoin.
Meskipun koreksi ini tampak dramatis, pergerakan seperti ini bukan hal asing dalam sejarah Bitcoin.
Bahkan jika tidak menghitung “COVID crash” pada 12 Maret 2020 — ketika Bitcoin anjlok 41,1% dalam satu hari akibat gangguan likuidasi di bursa derivatif BitMEX — masih ada 48 hari lain dalam sejarah di mana Bitcoin mencatat koreksi intraday yang lebih dalam.
Flashback: Dari Kejatuhan FTX hingga Krisis 2020
Salah satu contoh terbaru terjadi pada 9 November 2022, ketika Bitcoin turun 16,1% intraday ke level US$15.590.
Baca Juga: Trader Ini Raup Rp 3,1 Triliun dalam 2 Jam Sebelum Trump Umumkan Tarif 100% ke China
Kala itu, pasar kripto terguncang akibat kolapsnya FTX, setelah laporan menunjukkan sekitar 40% aset Alameda Research terikat pada token asli FTX, yakni FTT.
Krisis tersebut menyebabkan penangguhan penarikan dana dan berujung pada kebangkrutan imperium Sam Bankman-Fried.
Volatilitas Masih Tinggi Meski Ada ETF Spot
Sejak peluncuran Exchange-Traded Fund (ETF) Bitcoin spot di Amerika Serikat pada Januari 2024, frekuensi penurunan intraday lebih dari 10% memang cenderung berkurang. Namun, secara historis, pola siklus empat tahunan Bitcoin menunjukkan bahwa volatilitas belum sepenuhnya mereda.
Selain itu, struktur pasar kripto juga berubah signifikan seiring meningkatnya volume perdagangan di bursa terdesentralisasi (DEX).
Beberapa kejadian besar pasca-peluncuran ETF, seperti koreksi 15,4% pada 5 Agustus 2024, penurunan 13,3% pada 5 Maret 2024, dan kejatuhan 10,5% dua hari setelah ETF debut, menegaskan bahwa fluktuasi ekstrem masih menjadi bagian dari dinamika Bitcoin.
Baca Juga: Ketegangan Dagang AS-China Tekan Harga Bitcoin, Investor Diminta Tetap Waspada
Likuidasi Massal dan Masalah Margin
Koreksi pada Jumat tersebut memicu likuidasi posisi berjangka Bitcoin senilai lebih dari US$5 miliar. Platform Hyperliquid, sebuah bursa derivatif terdesentralisasi, melaporkan US$2,6 miliar posisi bullish terpaksa ditutup.
Di sisi lain, sejumlah pengguna Binance dan platform lain melaporkan gangguan pada perhitungan margin portofolio, sementara trader di DEX mengeluhkan auto-deleveraging — proses otomatis yang terjadi ketika pihak lawan gagal memenuhi persyaratan margin.
Akibatnya, bahkan trader yang sebelumnya meraup keuntungan besar kehilangan posisi mereka secara sepihak. Kondisi ini bukan semata kesalahan bursa, melainkan konsekuensi dari penggunaan leverage tinggi di pasar dengan likuiditas terbatas. Beberapa altcoin bahkan jatuh lebih dari 40%, memperburuk tekanan pada agunan (collateral) para trader.
Diskrepansi Harga dan Risiko Likuiditas
Selama penurunan tersebut, kontrak berjangka Bitcoin/USDT diperdagangkan sekitar 5% di bawah harga spot BTC/USD dan hingga kini belum sepenuhnya pulih.
Biasanya, selisih semacam ini menciptakan peluang arbitrase bagi pelaku pasar, namun kali ini pemulihan berjalan lambat — kemungkinan karena likuiditas tipis di akhir pekan dan penutupan pasar obligasi AS pada Senin akibat libur nasional.
Baca Juga: Gara-Gara Trump vs Xi Jinping, Harga Bitcoin Terjun Bebas ke US$ 108.000
Selain itu, rumor terkait risiko insolvensi turut memperburuk sentimen dan membuat market maker enggan mengambil posisi tambahan.
Prospek Jangka Pendek: Ujian di Level US$105.000
Dengan volatilitas tinggi dan tekanan likuidasi besar, butuh waktu bagi pasar derivatif Bitcoin untuk menilai seberapa dalam dampak kejatuhan ini. Para analis kini memantau apakah level US$105.000 akan menjadi support kuat atau justru membuka jalan bagi koreksi lanjutan.
Dalam konteks yang lebih luas, kejadian ini kembali menegaskan bahwa meski pasar Bitcoin telah semakin matang dengan hadirnya ETF spot, volatilitas ekstrem tetap menjadi ciri utama aset digital ini.
Investor pun diimbau untuk menerapkan strategi manajemen risiko ketat, terutama bagi yang menggunakan leverage tinggi di pasar berisiko tinggi seperti kripto.