Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - DUBAI. Saudi Aramco mengumumkan rencana penundaan penawaran umum perdana atau initial public offering (IPO). Pihaknya berharap hasil kuartal III 2019 yang tertunda dapat meningkatkan kepercayaan investor kepada perusahaan minyak terbesar di dunia tersebut menurut artikel yang dilansir Reuters, Jumat (18/10).
Sekedar pengingat, perusahaan minyak asal Arab Saudi ini sebelumnya mengumumkan rencana pelepasan 1%-2% saham di pasar Tadawul kerajaan yang bernilai lebih dari US$ 20 miliar pada tanggal 20 Oktober 2019. Rencana ini praktis bakal menjadi penawaran publik terbesar yang pernah ada.
Baca Juga: Kesepakatan dagang dengan AS akan mendorong PDB Jepang sebesar 0,8% selama 20 tahun
Namun, setelah serangan pada 14 September 2019 lalu di pabrik Abqaiq dan Khura, Aramco untuk sementara menonaktifkan setengah dari hasil minyak mentahnya. Eksportir utama dunia ini ingin meyakinkan investor lebih dulu dengan mempresentasikan hasil yang mencakup periode tersebut, menurut dua sumber Reuters, Kamis (17/10).
"Mereka ingin melakukan semua yang mereka bisa untuk mencapai target penilaian. Hasil yang solid setelah serangan akan menempatkan mereka pada posisi yang lebih kuat," terang sumber tersebut.
Sementara itu, sumber lainnya memastikan bahwa IPO akan ditunda. Hanya saja, sampai saat ini tidak diketahui tanggal baru yang ditetapkan oleh perusahaan untuk melangsungkan IPO.
Penundaan IPO ini diperkirakan akan terus berlanjut hingga Desember 2019 atau Januari 2020. Pun, mengenai laporan kinerja pada kuartal III 2019, belum ada sumber yang mengetahui perihal tersebut.
Isu ini sebelumnya mencuat setelah Reuters melaporkan pada 24 September 2019 silam bahwa IPO tidak mungkin terjadi tahun ini mengingat serangan terhadap fasilitas Aramco. Saudi Aramco pun tidak segera menanggapi permintaan komentar.
Baca Juga: Tesla dapat lampu hijau untuk memproduksi kendaraan listirk di China
Prospek Aramco yang menjual sebagian sahamnya telah membuat Wall Street kacau sejak Putra Mahkota Mohammed bin Salman pertama kali menggaungkan rencana tersebut tiga tahun lalu.
Namun, penilaian valuasi perusahaan sebesar US$ 2 triliun yang diinginkan oleh Pangeran Arab kerap dipertanyakan oleh beberapa pemodal dan pakar industri.
Pasalnya, ada banyak sekali negara yang mempercepat upaya untuk beralih dari bahan bakar fosil dalam upaya meredam pemanasan global. Hal ini pastinya menempatkan harga minyak di bawah tekanan, dan merusak nilai valuasi di sisi produsen.