Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - SINGAPURA/BEIJING. China tengah berjuang mengatasi lonjakan stok kedelai setelah berbulan-bulan melakukan impor dalam jumlah rekor, yang kini justru membatasi prospek ekspor Amerika Serikat.
Kondisi ini terjadi meski Washington sebelumnya menyebut telah tercapai gencatan dagang yang mencakup komitmen Beijing untuk melanjutkan pembelian besar-besaran komoditas pertanian asal AS.
Namun, sejumlah pedagang dan analis memperingatkan bahwa penumpukan pasokan besar di pelabuhan dan cadangan negara, ditambah marjin pengolahan (crush margin) yang lemah, membuat Beijing enggan menambah impor kedelai dalam waktu dekat.
“Perusahaan-perusahaan negara mungkin menunggu marjin pengolahan pulih sebelum melakukan pembelian dalam skala besar,” ujar Johnny Xiang, pendiri AgRadar Consulting di Beijing.
Baca Juga: Harga Kedelai Turun 1% di Tengah Lesunya Permintaan China Terhadap Pasokan AS
“Bahkan dengan pembebasan tarif, marjin tetap negatif, dan harga kedelai asal Brasil masih lebih murah,” tambahnya.
Komitmen Pembelian Belum Terlihat
Setelah pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping bulan lalu, pejabat di Washington mengatakan bahwa China telah menyetujui pembelian 12 juta ton kedelai AS sebelum akhir tahun, serta 25 juta ton per tahun selama tiga tahun berikutnya.
Namun hingga kini, Beijing belum mengumumkan komitmen publik terkait pembelian tersebut, meskipun telah menangguhkan tarif balasan atas impor dari AS. Menurut sumber perdagangan, COFCO, importir pangan milik negara China, baru memesan beberapa kargo untuk pengiriman Desember dan Januari.
Stok Melonjak, Marjin Mengempis
Para pembeli di China sebelumnya secara agresif membeli kedelai dari Amerika Selatan, terutama Brasil, untuk mengantisipasi kemungkinan kekurangan pasokan akibat perang dagang yang berkepanjangan. Namun strategi itu kini berujung pada kelebihan pasokan.
Data Sublime China Information menunjukkan bahwa stok kedelai di pelabuhan China mencapai rekor 10,3 juta ton pada 7 November, naik 3,6 juta ton dibanding tahun sebelumnya. Sementara itu, stok di pabrik penggilingan (crushers) mencapai 7,5 juta ton, tertinggi sejak 2017.
Baca Juga: China Tangguhkan Beberapa Tarif AS, Tapi Kedelai Masih Mahal bagi Pembeli Lokal
Harga fisik bungkil kedelai (soymeal), yang digunakan untuk pakan ternak, turun lebih dari 20% dari puncaknya pada April dan kini berada di sekitar 3.000 yuan (US$421) per ton, menurut data Mysteel. Penurunan paling signifikan terjadi di kawasan pesisir seperti Tianjin, Shandong, Jiangsu, dan Guangdong.
Pabrik penggilingan kedelai juga mencatat kerugian sekitar 190 yuan per ton di hub pengolahan Rizhao, dan diperkirakan akan tetap negatif hingga Maret 2026.
“Tidak banyak ruang bagi China untuk meningkatkan impor kedelai,” kata seorang pedagang di perusahaan internasional pengolah minyak nabati.
“Stok sangat besar dan permintaan dari sektor pakan ternak melambat.” terangnya.
Minim Tanda Pembelian Besar
Harapan pasar bahwa perusahaan negara seperti COFCO dan Sinograin akan segera melanjutkan pembelian besar sebagai bentuk itikad baik pasca perundingan dagang tampaknya belum terwujud.
Seorang pejabat AS mengatakan bahwa pemerintahan Trump tetap mengharapkan mitra dagangnya mematuhi kesepakatan yang telah dibuat.
“Presiden berhak menyesuaikan tarif, kontrol ekspor, atau konsesi lainnya untuk memastikan kepatuhan terhadap komitmen perdagangan,” ujar pejabat tersebut kepada Reuters.
Kementerian Perdagangan China menolak berkomentar, sementara data stok resmi kedelai masih tergolong rahasia negara.
Baca Juga: Harga Kedelai Sentuh Level Tertinggi 15 Bulan, Disokong Harapan Permintaan dari China
Namun, dua pedagang memperkirakan cadangan kedelai milik perusahaan negara mencapai 40–45 juta ton, atau dua kali lipat dari total impor kedelai AS tahun lalu, cukup untuk memenuhi kebutuhan selama lima bulan pertama tahun depan.
Brasil Masih Lebih Kompetitif
Sementara itu, importir swasta China terus memesan kedelai asal Brasil untuk pengiriman Desember. Harga kedelai Brasil untuk pengiriman Januari dilaporkan sekitar US$480 per ton (termasuk biaya dan pengiriman ke China), jauh lebih murah dibanding US$540–550 per ton untuk kedelai AS.
Menurut para pedagang, importir China telah memesan sekitar 2 juta ton kedelai untuk pengiriman Desember, mencakup lebih dari 40% kebutuhan bulan tersebut, sementara pemesanan untuk Januari masih lambat.
“Hampir tidak ada indikasi bahwa pembeli negara tengah melakukan program pembelian 12 juta ton sebelum akhir tahun ini, apalagi tambahan 25 juta ton untuk tahun 2026,” tulis Arlan Suderman, Kepala Ekonom Komoditas di StoneX, dalam laporannya pada Selasa.













