Sumber: South China Morning Post | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
“China dengan tegas menentang hal ini dan tidak akan mentoleransinya. Jepang harus segera memperbaiki diri dan menarik kembali pernyataan bermusuhan tersebut. Jika tidak, Jepang harus menanggung semua konsekuensinya,” kata Lin.
“Dalam sejarah militeristiknya, Jepang berulang kali melancarkan agresi luar negeri dengan dalih krisis eksistensial, termasuk memicu perang agresi melawan China dengan kedok menjalankan hak bela diri,” lanjutnya.
“Sekarang Perdana Menteri Sanae Takaichi kembali mengangkat skenario krisis eksistensial, apa maksudnya? Apakah ia ingin mengulang jalan militerisme masa lalu? Apakah ia berniat memusuhi kembali rakyat China dan masyarakat Asia? Apakah ia berupaya membalikkan tatanan internasional pascaperang?”
Tahun ini menandai peringatan ke-80 kemenangan China atas Jepang dalam Perang Dunia II dan penyerahan kedaulatan Jepang atas Taiwan.
Tonton: Taiwan Larang Konsumsi Indomie Soto Banjar Lantaran Mengandung Etilen Oksida
Lin menegaskan kembali bahwa isu Taiwan “tidak boleh dicampuri kekuatan eksternal mana pun”, dan setiap upaya intervensi merupakan provokasi terbuka terhadap tatanan internasional pascaperang dan dapat merusak hubungan bilateral China-Jepang.
“Jangan bermain api dalam isu Taiwan — mereka yang bermain api akan terbakar,” ujarnya.
Kesimpulan
Ketegangan diplomatik China–Jepang kembali meningkat setelah Beijing memperingatkan bahwa setiap intervensi militer Jepang di Selat Taiwan akan dianggap sebagai agresi yang memicu serangan balasan. Pernyataan keras ini berangkat dari komentar PM Sanae Takaichi yang membuka kemungkinan pengerahan militer jika konflik lintas selat mengancam eksistensi Jepang. China menilai sikap tersebut sebagai sinyal kembalinya retorika militeristik Jepang, sekaligus ancaman terhadap tatanan pascaperang, sehingga menegaskan bahwa isu Taiwan adalah garis merah yang tidak boleh disentuh kekuatan eksternal.













