Sumber: Express.co.uk | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Menjelang hari-hari terakhirnya di Gedung Putih, Presiden AS Donald Trump telah mengirim pembom nuklir B-52 ke Timur Tengah. Langkah ini ditujukan sebagai peringatan ke Iran di tengah meningkatnya ketegangan antara Washington dan Teheran.
Express.co.uk memberitakan, pada Januari 2020, kedua negara berada di ambang perang setelah pasukan AS membunuh mayor jenderal Iran Qasem Soleimani selama serangan rudal di Irak. Jenderal Soleimani sedang melakukan perjalanan melalui Baghdad ketika konvoinya diserang oleh tiga rudal AS.
Hanya beberapa hari setelah serangan itu, Teheran membalas dan meluncurkan serangkaian rudal balistik di dua pangkalan Irak yang menampung pasukan AS.
Kali ini, situasi kembali memanas setelah Trump melanjutkan ancamannya ke negara di bawah pimpinan Hassan Rouhani dengan mengirimkan pembom berkemampuan nuklir B-52 ke Timur Tengah sebagai peringatan ke Iran.
Baca Juga: Meski Trump tak lagi berkuasa, Iran tolak negosiasi baru dengan Barat
Komando Pusat AS mengkonfirmasi bahwa pembom berat telah tiba dan mengatakan pesawat itu akan menghalangi agresi Iran.
Melansir Express.co.id, setidaknya tiga dari pesawat Stratofortress, pesawat terbesar di Angkatan Udara AS, terbang ke Israel sebelum menuju ke pangkalan AS.
Hal ini menandai ketiga kalinya dalam 18 bulan terakhir di mana pembom B-52 telah dikerahkan untuk melenturkan kekuatan militer AS di Iran.
“Kemampuan untuk dengan cepat memindahkan pasukan ke dalam, keluar, dan sekitar teater untuk merebut, mempertahankan, dan mengeksploitasi inisiatif adalah kunci untuk mencegah potensi agresi," jelas Letnan Jenderal Greg Guillot, komandan Angkatan Udara ke-9 militer AS.
Baca Juga: Joe Biden: Amerika siap memimpin dunia lagi!
Misi ini membantu awak pesawat pembom mendapatkan pengetahuan terkait wilayah udara dan fungsi komando dan kontrol di kawasan itu sehingga memungkinkan mereka untuk berintegrasi dengan AS dan aset udara mitra teater. Selain itu, hal ini juga bertujuan untuk meningkatkan kesiapan keseluruhan pasukan gabungan.
Di bawah pemerintahan Trump, Washington sedang mengupayakan perpanjangan embargo senjata Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap Teheran.
Kesepakatan nuklir telah membatasi kemampuan senjata nuklir Iran dengan imbalan keringanan sanksi.
Baca Juga: Berjulukan kota Angkatan Laut bergerak, ini kemampuan kapal perang baru Iran
Namun, Trump membatalkan perjanjian pada 2018 dan telah memberlakukan sejumlah sanksi terhadap ekspor minyak Iran. Sanksi tersebut telah melumpuhkan perekonomian Iran.
Pada bulan Juli, juru bicara Pentagon mengklaim Iran adalah "ancaman terbesar" bagi perdamaian dunia setelah "kota bawah tanah" yang dipenuhi senjata terungkap ke publik.
“Iran mengklaim menginginkan hubungan yang baik dengan tetangganya, namun terus mengancam mereka dengan tingkat kekerasan yang lebih besar. Iran adalah ancaman terbesar bagi perdamaian dan keamanan di Timur Tengah," demikian kata juru bicara Pentagon kepada Newsweek.
Baca Juga: Iran luncurkan kapal perang Shahid Rudak, kota Angkatan Laut bergerak
Pernyataan seperti ini menunjukkan dengan jelas bahwa Korps Pengawal Revolusi Islam dan para pemimpinnya adalah kekuatan yang tidak stabil di wilayah tersebut.
Diyakini, Trump telah mempertimbangkan apakah dia harus menyerang Iran sebelum Biden mengambil alih sebagai Presiden pada Januari mendatang.
Awal bulan ini, Trump dikecam karena ingin melancarkan serangan dahsyat di situs nuklir utama Iran. Para penasihatnya memperingatkan, hal itu dapat memicu perang habis-habisan.
Baca Juga: Bikin dunia was-was, Iran mulai pasok gas uranium ke fasilitas bawah tanah
Saat mengalami kekalahan dalam pemilihan, Trump menghadapi reaksi keras ketika dia memecat Menteri Pertahanan Mark Esper di Twitter.
Tetapi Elissa Slotkin, mantan pejabat pertahanan yang menjadi wakil dari Partai Demokrat Michigan, memperingatkan: “Hanya akan ada beberapa alasan untuk memecat seorang menteri pertahanan dengan sisa 72 hari dalam sebuah pemerintahan. Seseorang akan menjadi tidak kompeten atau melakukan kesalahan, yang tampaknya bukan menjadi masalah dengan Menteri Esper."
“Yang kedua adalah balas dendam, yang akan menjadi cara yang tidak bertanggung jawab untuk menjaga keamanan nasional kita. Yang ketiga adalah karena presiden ingin mengambil tindakan yang dia yakini akan ditolak oleh menteri pertahanannya, yang cukup mengkhawatirkan," jelas Slotkin.