Sumber: The Guardian | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dolar Amerika Serikat (AS) mencatat kinerja terburuknya dalam enam bulan pertama tahun 2025, di tengah gejolak geopolitik dan kebijakan tarif Presiden Donald Trump yang memicu kekhawatiran pasar.
Sejak awal tahun hingga akhir Juni 2025, nilai dolar AS telah merosot 10,8% terhadap sekeranjang mata uang utama. Ini merupakan penurunan terburuk dalam paruh pertama tahun sejak 1973 dan menjadi kinerja semester terburuk sejak paruh kedua 1991.
Penurunan ini menyeret indeks dolar ke posisi terendah sejak Maret 2022, sementara nilai tukar pound sterling menguat ke level tertinggi dalam tiga tahun di US$ 1,37 dari US$ 1,25 pada awal tahun.
Baca Juga: Rupiah di Bawah Rp 16.200 Saat Dolar AS Tertekan ke Posisi Terendah Dalam 40 Bulan
Pelemahan dolar dipicu kekhawatiran bahwa kebijakan ekonomi Trump mengancam status aset berdenominasi dolar sebagai aset safe haven. Para ekonom memprediksi bahwa rancangan anggaran besar-besaran yang diajukan Trump dapat memperburuk utang nasional AS.
Analis Unicredit menyebut, “Dolar AS menjadi mata uang dengan kinerja terburuk tahun ini, terdepresiasi 10% terhadap mata uang lain akibat kekhawatiran investor atas kebijakan Trump. Sementara itu, euro naik 5%.”
David Morrison, analis senior di Trade Nation, menambahkan, “Tarif impor yang diberlakukan Trump, pandangan investor yang menilai pemerintahannya kacau, serta kekhawatiran atas utang nasional AS telah menyebabkan dolar kehilangan daya tarik.”
Ekspektasi penurunan suku bunga The Fed turut menekan dolar. Trump secara terbuka mengkritik Ketua The Fed, Jerome Powell, karena tidak segera memangkas suku bunga, dan mengisyaratkan akan menggantinya dengan sosok yang pro-pelonggaran moneter.
Menurut Chris Iggo dari Axa IM Investment Institute, pasar global mencatat kinerja positif sepanjang semester pertama.
Baca Juga: Rupiah Dibuka Menguat ke Rp 16.185 Per Dolar AS pada Hari Ini 1 Juli 2025
“Setiap tekanan pada aset berisiko dengan cepat pulih. Bahkan, volatilitas pasar cenderung turun. Pelaku pasar kini bertaruh pada pemangkasan suku bunga AS yang lebih agresif,” katanya.
Pasar saham mengalami perjalanan yang bergejolak sepanjang 2025. Meskipun sebagian besar indeks mencatat kenaikan dalam enam bulan pertama, perjalanannya tidak mulus.
Carsten Brzeski dari ING Research menyebut semester pertama 2025 sebagai periode penuh dinamika.
“Kebijakan tarif, volatilitas pasar, isu independensi The Fed, penurunan peringkat kredit AS, stimulus fiskal besar-besaran, lonjakan utang, deportasi, pembatasan visa mahasiswa asing, perpanjangan perang Ukraina, hingga perubahan kebijakan fiskal Jerman menjadi sorotan utama,” jelasnya.
Baca Juga: Dolar AS Terpuruk Terhadap Euro, Dipicu RUU Pajak Trump dan Ketidakpastian Tarif
Pasar AS dan Eropa sempat melemah pada Maret akibat ketegangan dagang antara Trump dan negara mitra seperti China, Meksiko, dan Kanada. Ketika Trump mengumumkan tarif besar-besaran bertajuk “Hari Pembebasan” pada awal April, pasar global anjlok.
Itu menjadi pekan terburuk bursa saham AS sejak 2020. Tekanan ini mendorong Gedung Putih menunda tarif selama 90 hari, yang kemudian memunculkan istilah “Taco” – Trump always chickens out (Trump selalu mundur).
Meski AS baru menandatangani satu kesepakatan dagang dengan Inggris, ekspektasi adanya kemajuan lebih lanjut atau penundaan tarif mendorong reli besar di pasar saham. Indeks S&P 500 mencetak rekor tertinggi pada akhir Juni.
Menurut Bloomberg, ini adalah ketiga kalinya dalam 100 tahun terakhir S&P 500 sempat turun 10% dan kembali mencatat keuntungan dalam satu kuartal yang sama.
Ipek Ozkardeskaya dari Swissquote Bank mengatakan, pasar saham AS telah “melupakan” tekanan dari perang dagang.
Baca Juga: Pelemahan Dolar AS Buka Peluang, Reksadana Offshore Tetap Menarik di Kuartal II-2025
“Menariknya, reli pasar bukan didorong oleh kemajuan nyata dalam negosiasi, melainkan oleh keyakinan bahwa Trump akan mundur (Taco) dan ketakutan investor tertinggal dari tren pasar (Fomo),” ujarnya.
Ia menambahkan, pelaku pasar juga yakin The Fed akan memangkas suku bunga dalam waktu dekat, pertumbuhan laba tetap kuat, dan teknologi AI akan meningkatkan produktivitas serta menurunkan biaya.
Meski demikian, kinerja pasar saham AS masih tertinggal dibandingkan Eropa. Sepanjang 2025, S&P 500 hanya naik 5%, sedangkan indeks Stoxx 600 Eropa naik 7%, FTSE 100 Inggris naik 7,2%, dan DAX Jerman melonjak 20%. Inggris menjadi salah satu pasar berkinerja terbaik secara global selama semester pertama tahun ini.
Analis AJ Bell, Dan Coatsworth, mengatakan, “Tarif, penurunan proyeksi laba dan ekonomi, serta konflik geopolitik menjadi faktor utama yang membentuk pasar di paruh pertama 2025. Ketidakpastian ini memengaruhi harga aset, kepercayaan bisnis dan konsumen, serta mendorong pergeseran besar dalam preferensi investasi. AS bukan lagi pilihan utama banyak portofolio.”
Baca Juga: Bank Sentral Banyak Tinggalkan Dolar AS,Pamor Greenback sebagai Safe Haven Terancam?
Saham teknologi menunjukkan performa yang bervariasi. Saham Meta (induk Facebook) naik 25% didorong pendapatan dari investasi AI. Namun, saham Apple turun hampir 20% karena kekhawatiran dampak tarif atas impor dari China dan anggapan bahwa Apple tertinggal dalam pengembangan AI.
Dean Turner dari UBS menyatakan, awal tahun ditandai dengan optimisme atas pertumbuhan dan laba yang kuat. Namun, pengumuman tarif “Hari Pembebasan” memicu koreksi tajam – S&P 500 anjlok 10,5% dalam dua hari, volatilitas melonjak, dan dolar melemah. Setelah itu, pasar pulih dengan cepat berkat penundaan tarif dan kinerja positif sektor AI.
Selain itu, emas mencatat kinerja yang kuat pada 2025. Harga logam mulia ini melonjak 25% karena investor mencari aset aman di tengah ketidakpastian pasar.