Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - BEIJING. Perekonomian China diperkirakan melambat pada kuartal II-2025, setelah mencatat awal tahun yang solid.
Ketegangan dagang dengan Amerika Serikat (AS) dan keterpurukan berkepanjangan di sektor properti membebani permintaan domestik, mendorong para pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan stimulus tambahan guna menjaga target pertumbuhan tetap tercapai.
Sebagai ekonomi terbesar kedua dunia, China sejauh ini masih mampu menghindari perlambatan tajam berkat adanya gencatan senjata dagang yang rapuh dengan AS dan dukungan kebijakan fiskal serta moneter.
Baca Juga: IISIA Waspadai Ancaman Ganda bagi Baja RI: BMAD China dan Tarif Trump
Namun, pasar kini bersiap menghadapi semester kedua yang lebih berat, seiring ekspor mulai kehilangan momentum, tekanan deflasi terus berlangsung, dan kepercayaan konsumen masih lemah.
Data produk domestik bruto (PDB) yang dijadwalkan rilis Selasa (15/7) diperkirakan menunjukkan pertumbuhan 5,1% secara tahunan pada periode April–Juni 2025, melambat dari 5,4% pada kuartal I, menurut jajak pendapat Reuters.
Meski melambat, angka tersebut masih lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya sebesar 4,7% dan mendekati target resmi pemerintah sekitar 5% untuk sepanjang tahun ini.
“Meskipun pertumbuhan cukup tangguh hingga pertengahan tahun, kami memperkirakan akan melemah di paruh kedua,” tulis analis Morgan Stanley.
“Hal ini disebabkan oleh efek pelunakan ekspor yang diajukan di awal tahun, tekanan deflasi yang terus berlanjut, serta dampak tarif AS terhadap ekspor langsung dan siklus perdagangan global.”
Baca Juga: Ekspor China Naik Jelang Tenggat Waktu Pemberlakuan Tarif Trump 1 Agustus
Morgan Stanley memperkirakan pertumbuhan kuartal III dapat turun hingga 4,5% atau lebih rendah, dengan kuartal IV berpotensi tertekan oleh efek basis yang tinggi.
Hal ini membuat target tahunan pemerintah berisiko tak tercapai, meski kemungkinan akan diimbangi oleh anggaran tambahan sebesar 0,5 hingga 1 triliun yuan (sekitar Rp 109 triliun–Rp 219 triliun) yang diperkirakan diumumkan mulai akhir kuartal III.
Ekspor Dikebut Jelang Batas Waktu Tarif AS
Ekspor China menunjukkan pemulihan pada Juni, sementara impor juga tumbuh, didorong percepatan pengiriman dari pabrik-pabrik untuk memanfaatkan jeda tarif sebelum batas waktu baru tarif AS pada awal Agustus.
Secara kuartalan, ekonomi China diprediksi tumbuh 0,9% pada kuartal II, melambat dari 1,2% di kuartal sebelumnya.
Pertumbuhan tahunan PDB China tahun ini diperkirakan akan mendingin ke 4,6%, sebelum kembali melemah ke 4,2% pada 2026, berdasarkan jajak pendapat yang sama.
Baca Juga: Kampanye Perang Harga Xi Jinping Bikin Kegaduhan di Pasar Saham Tiongkok
Fokus Pasar: Stimulus Tambahan dan Reformasi
Investor saat ini menantikan sinyal stimulus baru dalam pertemuan Politbiro akhir Juli mendatang yang akan menentukan arah kebijakan ekonomi pada sisa tahun.
Konsensus memperkirakan adanya pemangkasan 10 basis poin pada suku bunga reverse repo tujuh hari, serta kemungkinan penyesuaian suku bunga acuan pinjaman atau loan prime rate (LPR) pada kuartal IV.
Langkah-langkah stimulus sejauh ini termasuk peningkatan belanja infrastruktur dan subsidi konsumen, serta pelonggaran moneter bertahap.
Pada Mei lalu, bank sentral China menurunkan suku bunga dan menyuntikkan likuiditas untuk menahan tekanan dari kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump.
Namun, para ekonom menilai stimulus konvensional tak cukup untuk mengatasi tekanan deflasi struktural, terlebih setelah harga produsen turun dengan laju tercepat dalam hampir dua tahun pada Juni.
Baca Juga: CEO Nvidia Bakal Gelar Jumpa Pers di Beijing pada 16 Juli 2025, AS-China Awasi Ketat
Dengan latar belakang tersebut, ekspektasi menguat bahwa pemerintah China akan mempercepat reformasi sisi penawaran untuk mengatasi kelebihan kapasitas industri dan memacu permintaan domestik secara berkelanjutan.
Namun upaya ini bukan tanpa risiko. Para analis mengingatkan bahwa Beijing kini berada dalam posisi sulit, di mana mereka harus menyeimbangkan pengurangan produksi dan menjaga stabilitas lapangan kerja, di tengah memburuknya prospek pasar tenaga kerja.