Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekspor China kembali menunjukkan pemulihan pada Juni 2025, sementara impor juga mengalami rebound tipis.
Hal ini terjadi di tengah perlombaan para pelaku usaha untuk memanfaatkan masa tenang tarif antara Beijing dan Washington sebelum batas waktu negosiasi baru yang ditetapkan pada Agustus mendatang.
Ekspor dan Impor Melebihi Ekspektasi
Data bea cukai yang dirilis Senin (20/6) menunjukkan bahwa pengiriman barang ke luar negeri (ekspor) China naik sebesar 5,8% secara tahunan (YoY) pada bulan Juni. Angka ini melampaui perkiraan para ekonom dalam jajak pendapat Reuters yang memperkirakan kenaikan 5,0%, serta lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan Mei sebesar 4,8%.
Sementara itu, impor tumbuh 1,1% YoY, membalikkan penurunan 3,4% yang terjadi pada Mei. Meskipun angka ini sedikit di bawah proyeksi analis sebesar 1,3%, hal ini tetap dipandang sebagai tanda positif di tengah ketidakpastian global.
Baca Juga: Kampanye Perang Harga Xi Jinping Bikin Kegaduhan di Pasar Saham Tiongkok
Manuver Bisnis Jelang Tenggat Tarif Agustus
Lonjakan ekspor dipicu oleh upaya pelaku bisnis untuk mempercepat pengiriman sebelum berakhirnya masa jeda tarif yang disepakati antara Amerika Serikat dan China. Tenggat waktu krusial jatuh pada 12 Agustus, di mana kedua negara diharapkan mencapai kesepakatan jangka panjang untuk mencegah kembalinya tarif tinggi yang bisa melebihi 100%.
“Permintaan yang dipercepat atau frontloading mulai menunjukkan tanda-tanda melemah secara bertahap,” ujar Chim Lee, analis senior dari Economist Intelligence Unit. Ia mencatat bahwa meski permintaan pengiriman masih tinggi menjelang tenggat Agustus, tarif pengangkutan (freight rates) untuk barang ke AS mulai menurun — indikasi bahwa lonjakan sementara bisa segera mereda.
Lee juga menambahkan bahwa pengendalian ekspor antara AS dan China telah berkurang secara signifikan, dan kondisi perdagangan kini kembali mendekati level yang terlihat pada pertengahan April.
Ekspor Logam Tanah Jarang dan Risiko Baru dari Transhipment
Salah satu sinyal positif lainnya adalah ekspor logam tanah jarang (rare earths) dari China yang naik 32% pada Juni dibanding bulan sebelumnya. Kenaikan ini mengindikasikan bahwa kesepakatan yang dicapai bulan lalu untuk melonggarkan aliran ekspor logam strategis tersebut mulai menunjukkan hasil.
Namun, situasi belum sepenuhnya aman bagi Beijing. Presiden AS Donald Trump baru-baru ini menerapkan tarif 40% terhadap barang transhipment yang masuk dari Vietnam ke AS, kebijakan yang dapat menggagalkan upaya produsen China untuk menghindari tarif melalui jalur tidak langsung.
Baca Juga: China Perlu Tambah Stimulus Fiskal Hingga US$ 209 Miliar
Lebih jauh lagi, Trump juga mengancam akan mengenakan tarif 10% terhadap barang impor dari negara-negara BRICS, termasuk China. Tekanan tersebut memperbesar risiko bagi China dalam strategi dagangnya, terlebih jika pihak ketiga yang biasa digunakan untuk rerouting juga terdampak.
Tekanan dari Uni Eropa dan Tantangan Diplomatik
Tak hanya dari AS, Uni Eropa juga memperketat tekanan terhadap China. Menjelang pertemuan tingkat tinggi akhir bulan ini, Brussels menuduh Beijing membanjiri pasar global dengan kelebihan kapasitas dan memberikan dukungan ekonomi bagi Rusia dalam konflik yang tengah berlangsung di Ukraina.
Meskipun dihantui berbagai risiko, neraca perdagangan China tetap mencatatkan surplus sebesar US$114,7 miliar pada Juni, naik dari US$103,22 miliar pada Mei. Ini menunjukkan ketahanan ekspor China meski berada di tengah pusaran ketidakpastian geopolitik dan kebijakan dagang global.