Sumber: Economic Times | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pernyataan Elon Musk bahwa Singapura dan beberapa negara lain “menuju kepunahan” telah membuka perdebatan global terkait tantangan demografis di negara-negara maju.
Komentar ini merespons unggahan Mario Nawfal, figur terkenal di X (sebelumnya Twitter), yang menyoroti "krisis kelahiran" di Singapura dan peran teknologi robotik dalam menghadapi dampaknya.
Penurunan Fertilitas: Fakta Mengkhawatirkan
Singapura menghadapi penurunan tingkat fertilitas yang signifikan. Pada 2023, tingkat fertilitas total (TFR) mencapai 0,97—angka terendah dalam sejarah negara ini.
Baca Juga: Taylor Swift: Artis Paling Banyak Didengarkan pada 2024
Fenomena ini menandakan bahwa rata-rata setiap wanita melahirkan kurang dari satu anak sepanjang hidupnya, jauh di bawah tingkat penggantian populasi sebesar 2,1.
Penyebab utama penurunan ini termasuk perubahan norma sosial, meningkatnya jumlah wanita usia produktif yang memilih tetap melajang, dan menurunnya tingkat fertilitas dalam pernikahan, terutama di kalangan wanita usia 20-an.
Ditambah dengan tingginya biaya hidup dan mahalnya harga perumahan, banyak pasangan muda yang menunda atau bahkan enggan memiliki anak.
Teknologi Robotik: Solusi atau Hanya Penunda Masalah?
Di tengah tantangan ini, Singapura menjadi salah satu negara terdepan dalam adopsi teknologi robotik.
Dengan kepadatan robot tertinggi kedua di dunia, yaitu 770 robot per 10.000 pekerja, negara ini memanfaatkan robot untuk mengisi kekurangan tenaga kerja, terutama di sektor-sektor dengan biaya tinggi.
Elon Musk, yang juga CEO Tesla, percaya bahwa robot humanoid dapat menjadi solusi atas tantangan demografis global.
Namun, meskipun teknologi ini menawarkan efisiensi, peran manusia dalam ekonomi dan masyarakat tetap tidak tergantikan.
Singapore (and many other countries) are going extinct https://t.co/YORyakBynm — Elon Musk (@elonmusk) December 5, 2024
Kebijakan Imigrasi: Upaya Memperkuat Populasi
Selain teknologi, Singapura mengandalkan kebijakan imigrasi untuk menstabilkan jumlah penduduknya. Pada 2023, pemerintah memberikan kewarganegaraan baru kepada 23.472 orang dan status penduduk tetap kepada 34.491 orang.
Baca Juga: Uber Meluncurkan Layanan Robotaxi Pertama di Luar Amerika Serikat yakni di Abu Dhabi
Langkah ini tidak hanya menambah populasi produktif tetapi juga memperkaya keberagaman budaya.
Namun, kebijakan ini memiliki tantangan tersendiri. Integrasi sosial menjadi isu penting, terutama dalam mempertahankan identitas nasional di tengah perubahan demografi.
Pendekatan ini juga memerlukan keseimbangan dengan upaya mendorong angka kelahiran melalui dukungan kepada keluarga muda.
Biaya Hidup Tinggi: Hambatan Utama Kelahiran
Tingginya biaya hidup di Singapura menjadi penghalang besar bagi pasangan muda untuk memiliki anak.
Harga perumahan yang melambung, kebutuhan pokok yang mahal, dan ketidakpastian ekonomi membuat banyak orang menunda atau menghindari pernikahan dan memiliki keluarga.
Tantangan demografis yang dihadapi Singapura menjadi cerminan masalah serupa di negara-negara maju lainnya.
Amerika Serikat, misalnya, juga menghadapi masalah tingginya biaya hidup yang dapat memengaruhi tingkat kelahiran. Situasi ini menyoroti pentingnya kebijakan proaktif untuk memastikan keberlanjutan populasi di masa depan.
Baca Juga: Selamatkan Akun Gmail Anda, Tindakan Cepat Menghindari Peretasan!
Masa Depan Singapura: Bertahan atau Beradaptasi?
Singapura menghadapi tugas berat untuk mempertahankan daya saing ekonominya sembari memastikan keberlanjutan populasi.
Dengan kombinasi kebijakan proaktif, adopsi teknologi canggih, dan pengelolaan populasi yang cermat, Singapura diharapkan mampu menghadapi tantangan ini dan tetap menjadi pusat ekonomi global yang dinamis.