Sumber: The Street | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Harga emas telah mengalami koreksi beberapa waktu belakangan ini. Kondisi tersebut memunculkan pertanyaan apakah reli impresif komoditas tersebut sepanjang tahun ini mulai memasuki fase akhir.
Mengutip The Street, setelah melonjak ke rekor tertinggi mendekati US$ 4.400 per troy ounce pada Oktober, harga emas turun ke bawah US$ 4.000 di akhir bulan tersebut. Sejak itu, harganya bergerak fluktuatif di kisaran US$ 3.900–US$ 4.205, sebelum ditutup di level US$ 4.054 pada 17 November.
Pergerakan ini membuat investor bertanya-tanya: apakah ini saatnya “buy the dip” atau justru ambil untung sebelum koreksi berlanjut?
Kinerja tahunan emas sejak 2020:
- 2025: +53,9%
- 2024: +27,2%
- 2023: +13,1%
- 2022: -0,23%
- 2021: -3,5%
- 2020: +24,4%
(Sumber: MacroTrends)
Pembeli momentum tampaknya menahan harga di bawah level US$ 4.000, meski emas masih turun 7,4% dalam sebulan terakhir. Namun, Goldman Sachs kembali mengulas proyeksi harga emas untuk 2026 dan menyoroti satu katalis utama yang diperkirakan menentukan arah berikutnya.
Baca Juga: Harga Emas Melanjutkan Pelemahan, Terbebani Penguatan Dolar AS
Emas Melonjak di 2025: Yield Turun, Dolar Melemah
Ekonomi AS menunjukkan kinerja cukup kuat berdasarkan pertumbuhan PDB. Namun, sejumlah gangguan mulai muncul—pengangguran meningkat dan inflasi kembali memanas—yang memaksa Federal Reserve pada posisi sulit.
Pasar tenaga kerja menciptakan lebih sedikit lapangan kerja dibanding 2024. PHK meningkat, dan tingkat pengangguran naik ke level tertinggi sejak 2021. Tarif impor ala Presiden Donald Trump juga meningkatkan biaya barang, memicu kenaikan inflasi.
Pada Agustus:
- Pengangguran mencapai 4,3%, naik dari 3,4% pada Juli.
- Data Challenger, Gray & Christmas mencatat 1,1 juta PHK sepanjang Januari–Oktober, naik 44% dari periode sama tahun lalu.
- Studi Resume.org menyebut 4 dari 10 perusahaan melakukan PHK pada 2025, dan 60% berencana memangkas tenaga kerja lagi pada 2026.
- Inflasi juga naik ke 3% pada September, dari 2,3% pada April sebelum tarif diberlakukan.
Situasi ini menyulitkan The Fed yang memiliki mandat ganda: menekan inflasi sekaligus menjaga lapangan kerja—dua tujuan yang sering bertolak belakang.
Baca Juga: Terungkap: Negara dengan Cadangan Emas Terbesar dan Apa Artinya bagi Ekonomi Dunia
Meski begitu, The Fed memotong suku bunga dua kali pada September dan Oktober, dan pasar memperkirakan pelonggaran akan berlanjut hingga 2026.
Selain itu, utang pemerintah AS yang tinggi dan kekhawatiran bahwa bank sentral asing tak lagi agresif membeli obligasi AS juga menekan pasar.
Hasilnya:
- Yield Treasury 10 tahun turun dari 4,77% (Januari) menjadi 4,14%.
- US Dollar Index turun dari 109 menjadi 99,5.
Ini kondisi bullish bagi emas—karena historisnya, harga emas bergerak berlawanan dengan yield dan dolar. Dolar yang lebih lemah juga membuat emas lebih murah untuk pembeli asing, termasuk bank sentral.
Goldman Sachs Perbarui Proyeksi Harga Emas 2026
Volatilitas terbaru pada emas muncul seiring kenaikan yield dari level <4% ke posisi saat ini, serta penguatan dolar sekitar 1% dalam sebulan terakhir.
Namun Goldman Sachs menilai faktor fundamental emas tetap solid, terutama karena bank sentral terus menjadi pembeli terbesar.
“Lonjakan harga emas pada Senin pekan lalu sesuai pola pembelian bank sentral Asia,” tulis analis Goldman Sachs.
Goldman menilai tren pembelian emas bank sentral justru meningkat dan akan berlanjut.
Tonton: Ekspor Emas Akan Dikenakan Bea Keluar 7,5-15 Persen Mulai 2026
Bank tersebut memperkirakan:
- Pembelian bank sentral rata-rata 80 ton per bulan pada kuartal IV 2025–2026.
- Qatar membeli 20 ton pada September, Oman 7 ton, dan China 15 ton.
Dengan momentum tersebut, Goldman mempertahankan target harga emas: Harga emas diproyeksikan mencapai US$ 4.900 per ounce pada akhir 2026.
Bank tersebut juga menyebut harga bisa lebih tinggi jika tren investor ritel menambah alokasi emas dalam portofolio terus meluas.
Ini diperkuat data terbaru:
“Pembelian bank sentral dan arus masuk ETF emas Barat sebesar 112 ton pada bulan terakhir — pertama kalinya dua tren ini meningkat secara simultan dalam siklus ini.”
Kesimpulan
Harga emas yang terkoreksi setelah mencetak rekor tertinggi belum cukup menjadi sinyal akhir reli. Goldman Sachs menilai momentum emas masih kuat, terutama didorong pembelian agresif bank sentral global, pelemahan dolar, dan kondisi ekonomi AS yang sarat ketidakpastian (inflasi, PHK, dan pemangkasan suku bunga). Dengan faktor-faktor tersebut, bank investasi ini mempertahankan proyeksi bullish, memprediksi harga emas menanjak hingga US$ 4.900 pada akhir 2026, bahkan berpotensi lebih tinggi jika permintaan investor ritel juga meningkat.













