Reporter: Barratut Taqiyyah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
SINGAPURA. Sepertinya, saat ini sangat sulit memprediksi pergerakan harga minyak. Hari ini, harga minyak mentah di New York diperdagangkan seharga US$ 90 per barel. Harga minyak untuk pengantaran bulan November di New York Mercantile Exchange (NYMEX) turun sekitar US$ 1,09 atau 1,2% menjadi US$ 88,97 per barel.
Itu artinya, harga tersebut sudah anjlok tajam 39% dari harga rekor minyak yang mencapai US$ 147,27 pada 11 Juli lalu. Penurunan ini disebabkan semakin rendahnya tingkat konsumsi minyak di Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara maju lainnya di tengah krisis kredit yang mengguncang perekonomian dunia.
Berdasarkan data dari MasterCard Inc, permintaan akan bahan bakar AS pada minggu lalu turun 9,5%. Menurut MasterCard, para pengguna kendaraan di AS rata-rata membeli sekitar 8,625 juta barel bensin per hari pada minggu yang berakhir 3 Oktober lalu. Jika dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 9,536 juta, angka tersebut turun tajam. MasterCard juga mengatakan, penurunan tersebut sudah terjadi selama 24 minggu berturut-turut dan merupakan penurunan terbesar sejak September 2005 setelah Badai Katrina mengerek harga minyak.
Sementara itu, Departemen Energi AS juga memprediksi, permintaan rata-rata minyak AS akan berada pada posisi 19,8 juta barel per hari tahun ini, turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 830.000 barel per hari. Demikian pula halnya dengan permintaan minyak dari 30 anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OCDC) yang diperkirakan akan mengalami penurunan sekitar 1,07 juta barel menjadi 48,07 juta barel per hari.
Catatan saja, negara-negara OECD tidak termasuk Brazil, China dan India. Sementara, tingkat konsumsi oleh negara-negara non-OECD diperkirakan naik 1,4 juta barel per hari menjadi 38,07 juta barel.
Selain itu, penurunan harga minyak juga disebabkan oleh anjloknya pasar saham global yang dipicu adanya pengetatan kucuran kredit oleh perbankan kepada investor dan perusahaan. Kemarin, Standard & Poors 500 Index turun 60,66 poin atau 5,7% menjadi 996,23. Demikian pula halnya dengan Dow Jones Industrial Average yang merosot 508,39 poin atau 5,1% sehingga bertengger pada posisi 9.447,11. Itu artinya, sepanjang 2008 ini, indeks Dow Jones sudah turun 29% dan merupakan yang terburuk dalam 71 tahun terakhir.
Para analis menilai, kondisi ini akan terus berlanjut selama beberapa minggu atau bulan ke depan. Analis komoditas dari Goldman Sachs Group Inc. yaitu Giovanni Serio dan Jeffrey Currie dalam laporannya kemarin mengatakan bahwa saat ini pengetatan kredit oleh perbankan akan terus terjadi. “Selain itu, harga komoditas juga akan terus tertekan,” kata mereka.
Hal senada juga diungkapkan oleh Tobias Merath, analis komoditas dari Credit Suisse Group di Singapura. “Permintaan dan konsumsi minyak dari negara-negara maju diperkirakan turun sekitar 3% sampai 4%. Selain itu, adanya pengetatan kredit memaksa trader untuk melindungi posisi mereka karena mereka tidak memiliki akses ke kredit,” jelasnya.
Catatan saja, Libya dan Qatar berencana mengerem laju turunnya harga minyak. Pemerintah kedua negara anggota OPEC tersebut berencana untuk memangkas jumlah produksi.
Presiden OPEC Chakib Khelil pada minggu ini mengatakan, bahwa kelompok negara produsen minyak tersebut akan mengambil langkah-langkah untuk menstabilkan harga minyak di pasar dunia. Rencananya, OPEC akan mengadakan pertemuan di Oran, Algeria pada 17 Desember mendatang untuk mendiskusikan jumlah produksi minyak pada kuartal pertama 2009 nanti.
Bloomberg, Reuters