Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan lonjakan utang publik global yang diperkirakan kembali menembus di atas 100% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia pada tahun 2029, level tertinggi sejak 1948.
Lembaga ini mendesak pemerintah di seluruh dunia untuk membangun “penyangga fiskal” guna mengantisipasi risiko ekonomi yang meningkat.
Kepala Departemen Urusan Fiskal IMF Vitor Gaspar mengatakan dalam skenario terburuk namun masih mungkin terjadi, rasio utang global bisa menembus 123% dari PDB pada akhir dekade ini, mendekati rekor pasca-Perang Dunia II sebesar 132%.
Baca Juga: IMF Revisi Naik Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Jadi 4,9% pada 2025
“Dari sudut pandang kami, yang paling mengkhawatirkan adalah potensi gejolak keuangan yang dapat memicu krisis,” ujar Gaspar dalam wawancara, Rabu (15/10/2025).
Ia memperingatkan risiko terjadinya fiscal-financial doom loop, siklus saling memperburuk antara tekanan fiskal dan gejolak pasar seperti yang terjadi pada krisis utang Eropa tahun 2010.
Kekhawatiran Perang Dagang AS-China Baru
IMF baru-baru ini menaikkan sedikit proyeksi pertumbuhan global 2025 karena dampak tarif yang lebih ringan dari perkiraan.
Namun, lembaga ini mengingatkan bahwa eskalasi perang dagang baru antara Amerika Serikat (AS) dan China dapat menekan output ekonomi global secara signifikan.
Gaspar menegaskan bahwa di tengah ketidakpastian tinggi, reformasi fiskal menjadi semakin penting.
Baca Juga: IMF Bandingkan Boom AI dengan Gelembung Internet 1990-an, Apa Bedanya?
IMF menyerukan negara-negara maju maupun berkembang untuk menurunkan tingkat utang, mengurangi defisit, dan memperkuat cadangan fiskal.
“Dengan risiko yang begitu besar di depan mata, negara-negara perlu menyiapkan ruang fiskal agar dapat merespons guncangan keuangan secara efektif,” kata Gaspar.
Negara Maju Terlilit Utang, Negara Berkembang Terkendala Biaya
Dalam laporan Fiscal Monitor terbarunya, IMF mencatat bahwa sejumlah negara maju termasuk AS, Kanada, China, Prancis, Italia, Jepang, dan Inggris sudah memiliki rasio utang di atas 100% PDB atau diproyeksikan akan melampaui batas tersebut.
Meski risikonya tergolong rendah hingga moderat karena pasar obligasi yang dalam dan fleksibilitas kebijakan, negara-negara berkembang dan berpenghasilan rendah justru menghadapi tekanan lebih berat akibat biaya pinjaman tinggi dan ruang fiskal terbatas.
Baca Juga: IMF Optimistis Ekonomi Global Tumbuh 3,2% di 2025, tapi Trump Kembali Guncang Pasar
Gaspar menambahkan, era suku bunga rendah telah berakhir. “Pinjaman kini jauh lebih mahal dibandingkan periode setelah krisis keuangan global 2008-2009 dan pandemi 2020,” ujarnya.
Kondisi ini menambah tekanan terhadap anggaran negara di tengah meningkatnya kebutuhan akibat ketegangan geopolitik, bencana alam, disrupsi teknologi, dan populasi menua.
Investasi pada Pendidikan Dapat Tingkatkan Pertumbuhan
Meski mendorong disiplin fiskal, IMF juga menekankan pentingnya investasi publik yang tepat sasaran, terutama di bidang pendidikan dan infrastruktur.
Dalam laporan tersebut, IMF memperkirakan bahwa mengalokasikan 1% PDB untuk investasi modal manusia dapat meningkatkan PDB lebih dari 3% pada 2050 di negara maju, dan hampir dua kali lipat di negara berkembang.
Baca Juga: IMF Setujui Pendanaan Tambahan untuk Sri Lanka Senilai US$ 347 Juta
AS dan China Jadi Sorotan
IMF mencatat bahwa utang publik AS telah melampaui rekor pasca-Perang Dunia II selama pandemi COVID-19 dan diperkirakan menembus 140% PDB pada akhir dekade ini.
Gaspar mengatakan IMF akan mendorong pemerintah AS untuk menurunkan defisit anggaran dalam peninjauan ekonomi tahunan bulan depan.
“Menekan defisit akan membantu menyeimbangkan ekonomi AS dan menciptakan ruang bagi sektor swasta, sehingga menurunkan suku bunga global,” ujarnya.
Sementara itu, utang publik China juga meningkat pesat, dari 88,3% PDB pada 2024 menjadi 113% pada 2029, menurut proyeksi IMF.
Lembaga ini juga berencana mengkaji ulang kondisi fiskal China bulan depan.