Reporter: SS. Kurniawan | Editor: S.S. Kurniawan
KONTAN.CO.ID - Amerika Serikat (AS) dan China bergerak lebih dekat untuk menyepakati jumlah tarif yang akan mereka batalkan dalam kesepakatan perdagangan fase satu, meskipun ada ketegangan atas Hong Kong dan Xinjiang.
Sejumlah sumber Bloomberg yang mengetahui proses pembicaraan perdagangan AS-China mengatakan, pernyataan Presiden Donald Trump pada Selasa (3/12) yang mengecilkan urgensi kesepakatan bukan berarti negosiasi macet. Sebab, Trump mengeluarkan komentar itu secara spontan.
Menurut salah satu sumber Bloomberg yang akrab dengan pemikiran Beijing, Undang-Undang AS yang berusaha untuk memberikan sanksi kepada pejabat China atas masalah hak asasi manusia di Hong Kong dan Xinjiang tidak mungkin berdampak pada perundingan.
Baca Juga: Komentar Trump dan RUU Uighur merusak prospek kesepakatan AS-China
Bahkan, kata beberapa sumber tadi, negosiator AS mengharapkan, perjanjian fase satu dengan China bisa selesai sebelum kenaikan tarif atas impor Tiongkok berlaku pada 15 Desember nanti. Berbagai isu jadi topik pembicaraan, termasuk bagaimana menjamin pembelian China atas produk pertanian AS dan tarif mana yang akan dibatalkan.
Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) tidak menanggapi permintaan komentar dari Bloomberg. Begitu juga Kementerian Perdagangan China tidak segera menanggapi faks yang meminta pernyataan tentang pembatalan tarif.
Trump, Selasa (3/12), menyatakan, kesepakatan dengan China mungkin harus menunggu sampai setelah pemilihan Presiden AS pada November 2020 mendatang. Komentar Trump ini datang tak lama setelah ia mengenakan tarif impor baja dan aluminium dari Brasil dan Argentina.
Baca Juga: Prospek kesepakatan dagang AS-China kian suram, ini sejumlah indikasinya
Kemudian, DPR AS menyetujui RUU yang akan meminta Washington untuk memperkuat tanggapannya terhadap tindakan keras China terhadap minoritas Muslim Uighur. Ini semakin memupus harapan kesepakatan perdagangan dengan China.
Tambah lagi, Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross menolak tenggat waktu apa pun dalam perjanjian perdagangan dengan Beijing, dan melancarkan serangan baru terhadap raksasa telekomunikasi China, Huawei.