kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45909,31   7,91   0.88%
  • EMAS1.354.000 1,65%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kenaikan harga pangan dan bahan bakar mengancam Myanmar pasca kudeta


Selasa, 16 Maret 2021 / 15:21 WIB
Kenaikan harga pangan dan bahan bakar mengancam Myanmar pasca kudeta
ILUSTRASI. Aksi protes malam anti-kudeta di persimpangan Hledan di Yangon, Myanmar, 14 Maret 2021. (REUTERS / Stringer)


Sumber: Reuters | Editor: Prihastomo Wahyu Widodo

KONTAN.CO.ID - YANGON. Badan Pangan PBB mulai khawatir dengan ancaman kenaikan harga pangan dan bahan bakar akan segera dihadapi Myanmar menyusul krisis politik akibat kudeta militer awal Februari lalu.

World Food Programme (WFP) mengatakan bahwa kudeta militer yang dimulai 1 Februari lalu berisiko merusak kemampuan keluarga miskin untuk menghidupi diri sendiri.

Dilansir dari Reuters, harga minya sawit melonjak hingga 20% lebih tinggi di beberapa tempat di sekitar ibu kota Yangon sejak awal Februari. Sementara harga beras naik 4% di daerah Yangon dan Mandalay sejak akhir Februari.

Baca Juga: Pabrik milik China dibakar, 39 orang tewas di Myanmar

Di beberapa bagian Negara Bagian Kachin di utara, WFP mencatat kenaikan harga beras hingga 35%, sedangkan  harga minyak goreng dan kacang-kacangan naik tajam di beberapa bagian Negara Bagian Rakhine di barat.

Sejak kudeta terjadi, rangkaian aksi unjuk rasa pecah di seluruh penjuru negeri Myanmar, bahkan di sejumlah negara lain. Bahkan muncul aksi mogok kerja di beberapa sektor vital seperti instansi pemerintahan hingga rumah sakit.

Harga bahan bakar secara nasional telah meningkat sebesar 15% sejak 1 Februari dan dikhawatirkan akan terus melonjak di waktu mendatang.

"Kenikan harga pangan dan bahan bakar ini diperparah oleh sektor perbankan yang hampir lumpuh, perlambatan pengiriman uang, dan batasan luas pada ketersediaan uang tunai," ungkap WFP seperti dilansir Reuters.

Baca Juga: PBB: 70 orang tewas sejak kudeta militer berjalan di Myanmar

Direktur WFP, Stephen Anderson, mengatakan bahwa tanda-tanda krisis tersebut sangat mengganggu Myanmar secara menyeluruh karena masalah Covid-19 juga belum bisa teratasi.

"Jika tren negatif ini terus berlanjut setelah pandemi Covid-19 usai, maka hal ini akan sangat merusak kemampuan masyarakat miskin untuk menyediakan makanan yang cukup di meja keluarga," kata Anderson.

WFP telah hadir cukup lama di Myanmar, setidaknya selama dekade terakhir. Badan PBB ini melaporkan telah mendukung lebih dari 360.000 orang di Myanmar, kebanyakan dari mereka mengungsi akibat serangkaian konflik yang terjadi.

"Di WFP kami tahu betul bagaimana kelaparan dapat dengan ccepat terjadi ketika perdamaian dan dialog dikesampingkan," lanjut Anderson.

Myanmar yang dulu sempat menjadi lumbung beras utama Asia, kini termasuk ke dalam golongan negara termiskin di kawasan itu sejak militer merebut kekuasaan dalam kudeta tahun 1962.

Pemberlakuan kebijakan menuju sosialisme yang autarkis cukup menyengsarakan Myanmar. Kondisi mulai membaik, bahkan perekonomian berkembang pesat, setelah militer mulai menarik diri dari politik satu dekade lalu.

Selanjutnya: Dewan Keamanan PBB meminta militer Myanmar setop lakukan kekerasan




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×