Sumber: Kompas.com | Editor: Adi Wikanto
Pemberontakan dan Dinasti
Armenia telah diguncang oleh ketidakstabilan politik dan ekonomi sejak negara itu memperoleh kemerdekaan dari Uni Soviet. Kepemimpinan negara pasca-Uni Soviet menekan oposisi terhadap pemerintahannya.
Pihak oposisi juga dituduh memalsukan hasil pemungutan suara. Tuduhan tersebut sebagian besar disinyalir bertujuan untuk mengamankan kepentingan Rusia. Pada musim 2018, terjadi aksi unjuk rasa dan mengantarkan Nikol Pashinyan menjadi Perdana Menteri hingga sekarang.
Baca juga: Brompton memburu pencuri sepeda hingga ke Indonesia, apa istimewanya sepeda itu?
Azerbaijan, negara mayoritas Muslim di Laut Kaspia, telah berada di bawah cengkeraman otoriter dinasti keluarga sejak 1993. Heydar Aliev memerintah negara itu dengan tangan besi sampai Oktober 2003.
Mantan perwira intelijen Rusia, KGB, tersebut menyerahkan kekuasaan kepada putranya, Ilham, beberapa minggu sebelum kematiannya. Seperti ayahnya, Ilham telah menghancurkan kekuatan oposisi terhadap pemerintahannya. Pada 2017, Ilham menjadikan istrinya, Mehriban, sebagai wakil presiden pertama Azerbaijan.
Rusia dan Turki
Turki telah memberikan dukungan di belakang Azerbaijan yang kaya minyak. Turki sendiri ingin menjadi negara yang berpengaruh di kawasan Kaukasus.
Aliansi keduanya dipicu oleh saling curiga terhadap Armenia. Bahkan, Turki secara rutin mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras untuk mendukung ambisi Azerbaijan merebut kembali Nagorny Karabakh.
Armenia memiliki dendam terhadap Turki karena telah membantai sekitar 1,5 juta orang Armenia di bawah Kesultanan Turki Ottoman selama Perang Dunia I. Lebih dari 30 negara mengakui pembunuhan itu sebagai genosida, meskipun Turki dengan keras membantah istilah itu.
Rusia memiliki hubungan dekat dengan Armenia. Rusia juga memimpin aliansi militer Organisasi Traktat Keamanan Kolektif ( CSTO) yang beranggotakan enam negara pecahan Uni Soviet termasuk Armenia. Armenia mengandalkan dukungan Rusia dan jaminan militernya.